Ringkasan Buku Filsafat Bahasa (Filsafat Analitik) Karya Rizal Mustansyir
Buku yang
membahas tentang kajian filsafat bahasa sesungguhnya telah banyak. Namun yang
versi bahasa Indonesia masih cukup minim (2016). Oleh karena itu terbitnya
beberapa buku kajian filsafat bahasa yang berbahasa Indonesia perlu
diapresiasi. Dalam tulisan ini penulis mencoba menghadirkan ringkasan dari
salah satu buku filsafat bahasa yang dikarang oleh Rizal Mustansyir. Buku
tersebut berjudul Filsafat Analitik Sejarah, Perkembangan, dan Pernanan Para
Tokohnya, terbit pertama kali pada tahun 2001. Ulasan ini merujuk pada
terbitan tahun 2007 yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Pelajar.
Buku dengan
Jumlah halaman sekitar 200 halaman tersebut terdiri dari 7 Bab yang membahas
tentang sejarah timbulnya aliran filsafat bahasa, pemikiran tokoh-tokoh yang menjadi
benih pemikiran tersebut, para tokoh mazhab filsafat bahasa (filsafat analitik)
yang termasuk pada pemikir kotemporer, serta yang terakhir adalah bahasan
tentan teori arti. Setelah itu ditutup dengan bab kesimpulan. Dalam uraian ini,
penulis langsung menekankan pada esensi pemikiran setiap tokoh yang dihadirkan
secara periodik berdasarkan urutan kajian dalam buku tersebut.
Dalam kajian
filsafat bahasa pada umumnya, persoalan yang dimunculkan seputar pemaknaan
kalimat dan hakekat bahasa. Jika dipetakan, pemaknaan bahasa secara filosofis
(sejauh yang dijangkau sejarah umum) dimulai dari Socrates, filosof asal Yunani
yang terkenal dengan konsep dialektik kritis. Konsep yang dijadikan
jurus oleh Socrates melawan kaum Sofis pada waktu itu, merupakan benih lahirnya
konsep filsafat bahasa. Artinya makna bahasa diperoleh setelah diadakan uji
interaktif antara para penutur dengan mengadu argumentasi yang bertentangan.
Setelah Socrates pemikiran filsafat analitik dilanjutkan oleh muridnya yang bernama
Aristoteles, tokoh ini dikenal sebagai peletak dasar istilah-istilah untuk
membedakan suatu tuturan yaitu, kata dan kalimat. Rangkaian
keduanyalah yang disebut oleh Aristoteles sebagai bahasa. Artinya suatu bahasa
terdiri dari kata-kata dan kalimat-kalimat yang tersusun.
Setelah itu
tokoh filsafat bahasa selanjutnya adalah Immanuel Kant yang dikenal dengan
konsep etikanya. Bagi Kant bahasa harus mengandung etika. Darinyalah bisa
dinilai suatu tuturan baik atau tidak. Konsep ini kemudian diteruskan oleh
Edward Moore (w.1958) yang menilai suatu bahasa berdasarkan pada etika. Basis
bahasa yang ditawarkan oleh Moore adalah logika. Artinya suatu tuturan harus
sesuai dan dipahami oleh akal sehat. Disini sudah mulai dimasuki oleh paham
rasionalisme (dalam kajian filsafat barat). Secara epistemologis pemikiran Kant
maupun Moore memiliki kecendrungan untuk menggabungkan model filsafat
rasionalisme dan empirisme.
Beberapa tahun
selanjutnya filsafat bahasa mengalami kritik lebih jauh lagi yang dilakukan
oleh Witgenstein yang terkenal dengan teori atomisme logis-nya. Bagi
Witgenstein (w. 1951) pemaknaan bahasa paling dasar adalah pemaknaan yang bisa
diakomodasi oleh logika. Artinya kata bukanlah satuan terkecil bahasa namun
demikian satuan terkecil itu ada pada ungkapan paling dasar yang bisa dimaknai
oleh akal. Misalnya seseorang yang mengatakan “berdiri”. Kata tersebut
(berdiri) tidaklah memiliki makna jika tidak ada penjelasan tentang berdiri
itu, seperti dengan menambahkan kata Irpan (nama orang) sehingga menjadi Irpan
berdiri, atau nama apapun untuk memberikan keterangan makna.
Perlu dicatat,
Wittgeinstein memiliki dua periode penting dalam sejarah intelektualnya, yang
pertama disebut era atomisme logis (Wittgenstein I) dan yang kedua era Language
Games (Wittgenstein II). Berbeda dengan periode pertama sebagaimana
dijelaskan pada paragraf sebelumnya, era Language Games memberikan makna bahasa
bukan pada bentuk bahasa, tetapi pada bagaimana bahasa digunakan. Oleh karena
itu sintesa dari teori language games-nya Wittgenstein ada pada pernyataannya
yang populer: “Dont ask what the mean, but ask how to use” (Jangatan tanyakan
apa artinya, tetapi tanyakan bagaimana penggunaanya).
Selanjutnya,
pemikiran filsafat biasa dilanjutkan oleh pemikir bernama Gilbert Ryle (w. 1976).
Cukup berbeda dengan pemikir sebelumnya, Ryle menggugat tradisi pemaknaan
bahasa yang dicetuskan Wittgenstein dan kawan-kawan. Baginya penggunaan bahasa
perlu dibedakan antara bahasa yang baku dan tidak baku. Bahasa yang baku
menurut Ryle adalah bahasa yang terstruktur dan sesuai dengan aturan
konvensional dalam sebuah bahasa. Sementara itu, pemikiran filsafat bahasa
sebelumnya tidak memperhatikan tuturan baku dan tidak baku, namun pada tuturan
itu sendiri (bahasa yang digunakan sehari-hari). Disinilah letak orisinalitas
pemikiran Ryle.
Pada era
selanjutnya, pemikiran Filsafat bahasa meyentuh ranah laik atau tidaknya sebuah
tuturan. Artinya tidak lagi melulu pada sesuai kaidah atau tidak, tetapi pada ‘benar
atau salah’ dan ‘baik atau tidak’ pernyataan tersebut. Jika sebuah pernyataan
sesuai dengan realitas (fakta) maka pernyataan tersebut dinilai benar, tetapi
jika tidak sesuai dengan kenyataan, maka dinilai tidak benar. Dan jika dia
benar tetapi tidak sesuai etika, maka dinilai tidak laik (void). Tokoh
yang menggawangi pemikiran ini adalah Jhon Langsaw Austin (w. 1960). Austin
terkenal dengan teori tindakan bahasa. Menurutnya tindakan bahasa ada dua:
tindakan bahasa konstatif dan performatif.
Bahasan
selanjutnya dalam buku filsafat Analitik Rizal Mustansyir masuk pada bab
terakhir yang membahas tentang teori makna (arti). Dalam filsafat bahasa ada 3
teori arti yang populer yaitu: teori acuan (Referential theory), teori ideasi (The
Ideational Theory), Teori Tingkah Laku (Behavioral Theory). Teori acuan ringkasnya bermakan
bahwa suatu ungkapan atau kata harus mempunyai acuan agar ungkapan atau kata
itu mengandung arti atau makna. Menurut Alston, teori ideasi ini adalah suatu
jenis teori arti yang mengenali atau mengidentifikasi arti ungkapan dengan
gagasan-gagasan (idea-idea) yang berhubungan dengan ungkapan tersebut. Dengan kata
lain, teori ini menghubungkan makna kata dengan suatu ide atau representasi
psikis yang ditimbulkan kata atau ungkapan kepada kesadaran. Adapun teori
tingkah laku menurut Alston merupakan salah satu jenis teori arti yang
mengidentifikasi arti suatu kata atau ungkapan bahasa dengan
rangsangan-rangsangan (stimulus) yang menimbulkan ucapan tersebut dan atau
tanggapan-tanggapan yang ditimbulkan oleh ucapan tersebut.
Demikianlah ringkasan
isi buku Filsafat Analitik yang memuat Sejarah dan peranan para tokoh
filsafat bahasa. Menurut penulis buku ini (Rizal Mustansyir), buku tersebut
hanya memuat beberapa tokoh peletak dasar (founding father) filsafat
bahasa, karenanya perkembangan kajian filsafat bahasa masih terus berlangsung yang
perlu dipelajari lebih jauh lagi.
Sumber gambar: http://perpustakaan.kepriprov.go.id/
Post a Comment for "Ringkasan Buku Filsafat Bahasa (Filsafat Analitik) Karya Rizal Mustansyir"