Pita Hitam di Lapangan Hijau
Tradisi “mengikatkan pita” di lengan kanan pemain bola merupakan
ritual yang dilakukan dalam rangka menunjukkan bela sungkawa atas suatu
pristiwa kemanusiaan yang terjadi. Misalnya terjadinya bencana alam, teror dan
kejahatan sosial lainnya. Hal tersebut menjadi simbol kepedulian sosial yang
ditunjukkan dalam persepakbolaan Eropa khususnya. Sebagaimana kita tahu tradisi
tersebut hanya terlihat di dunia persepakbolaan benua biru itu. Namun demikian,
beberapa orang menilai bahwa tindakan kemanusiaan itu hanya berlaku pada ras Eropa
sendiri, tidak untuk yang lainnya.
Pernyataan tersebut dihubungkan dengan melihat ketika terjadi
pembunuhan di Thailand, bom di Palestina serta berbagai kejahatan kemanusiaan
lainnya di Timur Tengah, tidak masuk dalam upacara tradisi tersebut. Inilah yang
kemudian bisa kita katakan sebagai tindakan pluralisme yang tak merata dimana
simpati kemanusiaan hanya ditujukan kepada mereka yang berasal dari benua
tersebut. Sebagai lambang peradaban, serta tempat pengembangan keilmuan dan
teknologi manusia, Eropa tengah terjebak dalam humanisme sepihak yang rentan
tenggelam dalam fanatisme.
Selain itu, adanya bentuk ketimpangan humanitas tersebut
bertentangan dengan prinsip yang sempat menjadi motto umum pada piala dunia 2010 yakni “say no to
rassism.” Dengan demikian sepak bola Eropa menunjukkan ketidakkonsekuenan pada
tradisi sepak bola dalam hubungannya dengan refleksi sosial.
Jika kita lihat dalam sudut pandang semiotik, pita hitam yang
direpresentasikan sebagai simbol kepedulian sosial mengalami perubahan makna
yakni berubahnya representamen menjadi simbol yang mewakili tindakan ras benua Eropa
yang di dalamnya terjadi pergeseran simbol yang berpotensi kepada perubahan
makna pita hitam itu sendiri. Dengan demikian wujud tradisi menggunakan pita
hitam dalam persepakbolaan Eropa merupakan wujud keberpihakan kemanusiaan yang
timpang.
Sepak bola sebagai produk sosial merupakan wadah yang cukup penting
dalam transaksi kemanusiaan baik dalam bidang budaya, politik, olah raga ataupun
ekonomi. Olah raga menjadi alat baru
untuk manusia menunjukkan pola tingkah laku mereka. Berdasarkan pada paradigma interaksionisme
simbolis, sepak bola merupakan wadah penyatuan berbagai simbol tindakan
yang salah satunya mewakili sikap stereotip, diskriminasi bahkan rasisme
kelompok-kelompok tertentu.
Akankah kemudian sepak bola Eropa yang teramat maju harus ditinjau
lebih jauh untuk mengetahui berbagai hal di baliknya? Itulah kenapa tulisan ini
penting untuk kita simak, karena bagaimanapun juga hal yang menyihir setiap
mata mengandung prinsip-prinsip dasar tatanan sosial (baca: totemisme).
Totemisme sebagai kajian sosial pertama kali dicetuskan oleh
seorang sosiolog terkenal beranama Emil Durkheim. Dengan keahlian dan
pemikirannya yang orisinal dialah yang mengatakan bahwa dasar pokok dari spirit
keyakinan manusia adalah asas-asas sosial. Kaitannya dengan hal ini sepak bola
sebagai yang memiliki wajah yang kompleks termasuk di dalamnya barangkali
adalah sakralitas, muncul sebagai media dalam beberapa konteks ritual manusia.
Belangsungkawa adalah salah satu hal yang dilakukan manusia dengan
sepak bola yakni mengikatkan pita hitam di setiap lengan pemain dalam menyikapi
beberapa kejahatan sosial atau bencana yang merenggut nyawa.
Sayangnya ritual tersebut mejadi momok yang memburamkan ketika
ditinjau dari sisi yang berbeda. Sebagaimana di sampaikan di muka, tradisi
mengikat pita hitam oleh pemain-pemain sepak bola khususnya sepak bola Eropa menjadi
ajang solidaritas sosial yang hanya terkhusus pada kelompok atau ras tertentu.
Dengan demikian upaya pemunculan sikap solidaritas itu telah memicu kepada
tindakan deuniversalisme humanitas sepak bola. Sebagai roh dalam
universalisme kemanusiaan seharusnya setiap orang harus memiliki paradigma moral
universal dimana penting bagi siapapun untuk menghargai semua manusia tanpa
memandang bulu, baik itu agama, ras, budaya dan lain sebagainya.
Kita patut mempertanyakan ritual pengikatan pita hitam dalam
konteks keberagaman yang lebih luas. Kenapa tidak pernah kita melihat para
pemain sepak bola eropa mengikatkan pita hitam ketika ratusan bom meledak
setiap hari karena perang di belahan Timur Tengah?
Saya tidak ingin terjebak dalam perasangka dan asumsi yang mungkin
akan berujung pada penilaian yang negatif tentang fenomena yang lumrah di
negeri Eropa itu. Hanya sebagai pusat peradaban intelektual modern, Eropa
seharusnya juga bisa menjadi contoh dalam uapaya pengembangan moral universal.
Semoga pita hitam senantiasa bermakna belasungkawa yang tak tertutup ras atau
ideologi, tapi justru merupakan etika olah raga dalam membangun peradaban yang
lebih harmonis.
Post a Comment for " Pita Hitam di Lapangan Hijau"