3 Epistemologi dalam Ilmu Nahwu
Dalam pematangan Ilmu Nahwu sebagai sebuah disiplin keilmuan, para ahli telah melewati beberapa langkah pengumpulan kaidah yang menjadi acuan atau prinsip dalam pembukuan kaidah nahwu secara ilmiah. Hal tersebut selanjutnya disebut sebagai epistemologi ilmu Nahwu. Dalam tulisan ini dibahas 3 prinsip atau epistemologi dasar yang menopang lahirnya Ilmu Nahwu.
1.
Al-Sima’
Salah satu unsur terpenting dan utama yang
menjadi pilar bagi bangunan ilmu nahwu adalah al-sima’. Sima’ secacra bahasa
berarti “mendengar”. Namun demikian kata tersebut memiliki pengnertian yang
jauh lebih luas dari hanya ‘mendengar’. Al-Sima’ dalam konteks Nahwu berarti
sebuah penelitian suatu peristiwa bahasa yang dilakukan oleh para ahli dengan
cara mencari informasi dari sumber aslinya untuk memastikan keontentikan suatu
kasus kebahasaan yang sedang mereka hadapi.
Pada prinsipnya al-sima’ lebih erat kaitannya
dengan masalah budaya dari pada sebuah sistem ilmu pengetahuan. Budaya yang
dimaksud disini adalah budaya ‘otoritas’. Dalam tradisi Arab klasik terdapat
kelompok tertentu yang diyakini memiliki otoritas dalam persoalan bahasa
sehingga mereka selalu menjadi rujukan atau bahkan penentu bagi kevaliditasan
sebuah teori atau pembuatan aturan dalam tata bahasa tentu selain Al-Quran dan
Hadits. Kelompok pemegang otoritas tersebut adalah masyarakat Arab yang tinggal
di daerah pedalaman atau pegunungan yang dalam sistem sosial Arab biasa disebut
dengan ‘ahlul badwi’ atau ‘al-a’rab’.
Epistemologi al-sima’ ini lumrah digunakan
oleh para ahli bahasa dan nahwu pada abad awal hingga pertengahan Islam, meski
dengan tingkat kekritisan yang berbeda-beda di kalangan para ahli.
2.
Al-Qiyas
Prinsip ini muncul dan digunakan dalam
merumuskan kaidah kebahasaan seiring dengan dimulainya perumusan dasar-dasar
ilmu Nahwu. Dalam berbagai referensi yang membicarakan teori gramatika bahasa
Arab, hampir seluruhnya menyebutkan bahwa prinsip Qiyas telah mulai digunakan
oleh tokoh yang disebut sebagai peletak dasar Ilmu Nahwu yakni Abu Aswad
Ad-Dualy, yang kemudian diperluas makna, pengertian, dan penggunaannya oleh
para ahli Nahwu generasi selanjutnya.
Pada
masa awal kemunculan Nahwu, Qiyas
memilki pengertian yang sangat sederhana, yakni: ‘menjadikan bahasa yang
dianggap benar sebagai ukuran atau analogi dan model pembentukan suatu kalimat
tertentu’. Jadi, Qiyas adalah membentuk pola bahasa dengan pola bahasa yang
telah ada sebelumnya, baik dalam segi struktur kalimatnya maupun dari segi
bentuk i’robnya. Dengan kata lain al-Qiyas semula merupakan pengembangan lebih
lanjut dari perinsip al-sima’ yang telah muncul sebelumnya.
3.
Al-‘Amil
Prinsip ketiga dalam sistem epistemologi ilmu
Nahwu adalah ‘amil’ (al-‘Amil). Amil secara harfiyah berarti ‘sesuatu yang
bekerja’. Dalam pengertian ilmu Nahwu amil adalah hal-hal yang menyebabkan atau
mempengaruhi yang lain dari segi i’robnya. Amil tersebut dapat berbentuk sebuah
kata verbal (tertulis atau terucap) atau berupa kata yang dikira-kirakan secara
jelas (maknawi), juga dapat berupa huruf-huruf yang difungsikan sebagai amil.
Meskipun Amil muncul belakangan dalam kaidah
penyusunan Ilmu Nahwu, namun ia memiliki peran yang sangat dominan dan yang
terpenting dari seluruh epistemologi ilmu Nahwu, khususnya dalam formasinya
seperti yang kita kenal sekarang ini. Konsep ini baru dikembangkan pada era
ahli nahwu yang populer yakni Khalil bin Ahmad Al-Farakhidi.
Begitu dominannya peran amil dalam ilmu nahwu
sehingga hampir seluruh kitab yang berbicara soal Nahwu membahasnya sehingga
melampaui pembahasan prinsip-prinsip lainnya. Fenomena seperti ini tampaknya
wajar belaka mengingat secara faktual amil memang menjadi titik sentral dan
menjadi pilar utamanya dalam tata bangun bidang kajian Ilmu Nahwu.
Post a Comment for " 3 Epistemologi dalam Ilmu Nahwu"