Mengapa Kitab Jurumiyah Tidak Memakai Mukaddimah dan Bab untuk Pembahasan Kalam?
Salah satu kitab Ilmu Nahwu dasar
yang populer di kalangan pesantren adalah Matan Jurumiyah. Kitab karangan Imam Syekh
Shonhaji itu memang terkenal sebagai kitab yang fenomenal. Hampir semua
pesantren diseluruh penjuru negeri ini mengkaji kitab tersebut. Tentang matan
jurumiyah, memang telah banyak riwayat yang menunjukkan keluarbiasaan proses
pengarangan kitab tersebut. Diceritakan bahwa pengarang kitab tersebut dahulu
saat kitabnya selesai disusun, dirinya meragukan keikhlasan hatinya dalam
mengarang, oleh karena itu dirinya membuang kitab tersebut dengan ‘azam’ bahwa
jika dirinya tidak ikhlas mengarang kitab tersebut, maka kitab tersebut tidak
akan kembali.
Singkat cerita, ketika kitab itu
dibuang ke sungai, maka yang terjadi tintanya tetap awet dan kemudian
lembaran-lembaran tersebut mengalir tanpa terlihat luntur sedikitpun. Itulah
kemudian yang mempengaruhi penamaan kitab tersebut sebagai kitab ‘jurumiyah’
yang berarti ‘yang mengalir’.
Nah, beberapa kali saat saya
mengajarkan kitab tersebut kepada para santri di pondok. Beberapa diantara
mereka menanyakan mengapa kitab tersebut tidak memakai mukaddimah dan mengapa seluruh
bab dikasi penamaan bab sementara pada bab pertama tidak? Sayapun mengernyitkan
dahi, iya ya, mengapa tidak dituliskan Mukaddimah dan Bab kalam?
Saya kemudian membaca beberapa
referensi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Salah satu kitab yang saya baca
adalah kitab Kawakib Durriyah, sebuah kitab yang merupakan ‘hasyiah’
matan jurumiyah. Dalam kitab tersebut saya perhatikan dengan seksama uraian
dari pengarang. Sampailah saya pada bahasan ‘Kalam’ yang di dalamnya sepertinya
menjadi alasan mengapa bab pertama matan jurumiyah tidak dituliskan judulnya.
Ahmad bin Abdul Bari al-Ahdal,
pengarang kitab Kawakib itu menyebut bahwa kalam merupakan istilah umum yang
digunakan oleh para ahli Nahwu, dia memberikan makan ‘kalam’ sebagai ‘kalamun
nahwiyyin’ yaitu ‘kalam para ahli nahwu’. Ini merujuk kepada pandangan Ibnu
Malik dalam alfiyah-nya: kalamuna lafzhun mufidun kastaqim, demikian
pula pandangan ‘imrithy dalam kitabnya: kalamuhum lafzun mufidun musnadu.
istilah tersebut menunjukkan makna bahwa kalam yang dimaksud adalah kalam menurut
para ahli nahwu.
Dijelaskan bahwa kalam sebagai
mana dalam ilmu bahasa dimaksudkan pada ‘kalam nafsi’ yaitu ‘perkataan di dalam
jiwa yang tersembunyi dari huruf dan suara, sebagaimana dikatakan al-Akhthol “sesungguhnya
kalam itu terdapat di dalam hati, dan lisan itu diciptakan hanya sebagai simbol dari apa yang ada di dalam
hati’.
Dari pernyataan tersebut dapat
kita argumentasikan bahwasannya kalam dalam hakikat kebahasaannya merupakan apa
yang ada di dalam jiwa, bukan susunan huruf yang bisa terbaca. Pengertian ini
menunjukkan bahwa kalam merupakan hal yang bersifat abstrak atau tak nampak
dalam pandangan nyata. Inilah yang kemudian bisa menjadi alasan logis, mengapa
kalam tidak diberikan penamaan bab, tetapi langsung dimulai dengan pembahasan
mengenai pengertian kalam.
Selain alasan itu, mungkin juga
bisa kembali ke kisah di awal tulisan ini, bahwa pengarang matan jurumiyah
begitu ikhlas mempersembahkan karangannya, bisa jadi tidak adanya judul yang
kongkrit di bab pertama ini bahkan tanpa mukaddimah. Ini barangkali menegaskan
keikhlasan itu. wallahu a’lam.
Post a Comment for " Mengapa Kitab Jurumiyah Tidak Memakai Mukaddimah dan Bab untuk Pembahasan Kalam?"