Memaafkan Akhir September, Menyambut Semangat Oktober
PKI dahulu dipahami sebagai gerakan politik yang membahayakan. Membicarakan
PKI adalah membicarakan sejarah. Namun saat ini PKI telah menjadi satu isu
tahunan yang hanya muncul ketika tanggal 30 September segera tiba. Artinya isu PKI
yang awaalnya merepresentasikan sejarah tertentu, belakangan hanya sebagai
tanda bahwa bulan September akan segera usai.
Iya, memang menyebalkan sekali ketika sejarah hanya menjadi tanda untuk
satu keinginan subjek yang terbatas, tidak menempatakannya sebagai tanda utuh
untuk sebuah representasi sejarah yang sesungguhnya. Ini belum berbicara
tentang bagaimana PKI ditempatkan dalam belantara perpolitikan tanah air yang
dalam beberapa hal disajikan secara menjijikkan.
PKI, sejauh yang mungkin bisa dipahami secara utuh, adalah gerakan politik
di Indonesia yang pernah menjadi mayoritas. Namun dekatnya gerakan tersebut
dengan darah telah menjadikan PKI menjadi satu episode sejarah yang mengerikan.
Penggal sejarah itu mengabadi dalam massa, dan sesekali mencuat ke permukaan
hanya untuk memberitahukan bahwa peristiwa tersebut pernah terjadi.
Apa yang ingin disampaikan dalam gerakan membaca sejarah PKI? Apakah nilai,
pelajaran, atau sebagaimana yang saya singgung di muka hanya sebagai tanda
September akan segera usai?
Saya menganggap bahwa isu PKI dewasa ini hanya menandai bahwa 30 September telah
dekat yang artinya Oktober akan segera tiba. Tidak lebih. Mengapa saya hanya
memaknai demikian, karena sudah tidak ada hal istimewa dalam sejarah yang
diulang-ulang itu. Apa manfaatnya bagi kita, ketika sejarah PKI hanya mendorong
kita untuk mengungkit kembali perseteruan kaum agamawan dengan kaum tak
beragama? Apa manfaatnya bagi bangsa, ketika sejarah PKI mendorong kita untuk
besikap saling mecurigai satu sama lain? Apa manfaatnya saat narasi sejarah PKI
hanya tentang memamerkan sikap kita yang sok suci?
Rasa-rasanya tidak ada yang istimewa dalam diskusi kita tentang PKI
tahun-tahun terakhir ini. Kita hanya menjadikan PKI sebagai topeng untuk saling
melempar kesalahan dan mengklaim kesucian diri. Artinya PKI hanya isu yang
dipakai untuk menjelekkan orang lain, dan di saat yang sama memolek diri
sendiri sebagai orang yang tak berdosa.
Sikap diatas, nampaknya lebih berbahaya dari apa yang dilakukan PKI di masa
silam. Jika dulu PKI menghilangkan nyawa, kini gerakan orang-orang yang
mengakambinghitamkan PKI adalah menghilangkan identitas dan ruh kebangsaan
kita, sesuatu yang akibatnya jauh lebih fatal dari hanya memisahkan ruh dan
jasad.
Adanya gelombang
terpola dari isu PKI yang hanya mencul mendekati tanggal 30 September membuat
saya (dengan rasio sederhana saja) mengambil satu kesimpulan semiotik yang
penting, bahwa PKI dalam posisinya sebagai objek pertandaan, hanya sebagai
petanda dari hadirnya bulan Oktober, dalam arti isu tersebut hanya mengingatkan
bahwa bulan september sebentar lagi usai. Pemaknaan ini jauh lebih menarik
daripada berdebat perihal kabut sejarah yang masih pekat menyelimuti episode
sejarah tersebut.
Selamat merayakan 30 September, ingat besok sudah bulan Oktober, saatnya
membangun semangat baru, karena Oktober adalah bulan semangat. Bulannya para
pemuda!
Post a Comment for "Memaafkan Akhir September, Menyambut Semangat Oktober"