Hadits Tentang Pemimpin dari Suku Quraisy (Analisis Linguistik dan Kajian Konfirmatif)
Masalah kepemimpinan masih menjadi diskusi panjang pada masa modern
ini. kenyataan yang timpang antara kajian dan realitas di lapangan membuat
diskusi tersebut terus berkembang dari satu tulisan ke tulisan lainnya, bahkan
sampai kepada ranah penelitian. Pemimpin ideal dewasa ini mulai dianggap langka
karena keberadaannya sangat sulit ditemukan. Memang banyak sekali pemimpin yang
bercitra seolah menjadi pemimpin ideal namun ketika amanat telah diberikan
kepadanya, justru yang terjadi sebaliknya.
Terkait tentang pemimpin, ada sebuah hadits dari Rasulullah Saw
yang diriwiyatkan oleh imam Ahmad bin Hambal dalam kitabnya “Musnad Ibnu
Hambal,” Hadits tersebut mengatakan bahwa “pemimpin itu dari bangsa Quraisy.”
Mengingat seluruh ucapan nabi adalah sunnah, lantas yang menjadi pertanyaan
adalah apakah dengan demikian pemimpin itu harus dari bangsa Quraisy atau Arab
pada saat ini?
Jika diambil hukum seperti di atas, maka akan banyak
pandangan-pandangan bahwa pemimpin sejati itu berasal dari Arab, mungkin inilah
juga yang melatari beberapa kelompok dalam Islam dewasa ini sehingga
berkeinginan untuk mewujudkan satu kepemimpinan yang utuh. Dan tidak jarang,
orang-orang panutan mereka adalah orang-orang Arab.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan uraian tentang hadits di
atas yang penulis kaji secara komprehensif, mulai dari analisis linguistik
sampai pada latar historis pada waktu itu. hal ini penting untuk meluruskan
pemahaman kita tentang suatu hadits agar tidak berpikiran sempit dan cendrung
tekstual.
Analisis dalam makalah ini menlingkupi analisis linguistik, kajian komfirmatif substantif, serta relevansinya dengan beberapa hadits maupun ayat-ayat al-Quran. Pada akhir pembahasan akan dipaparkan kajian praktis yakni kontekstualisasi hadits untuk zaman sekarang. Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua termasuk untuk lahirnya kritik dan saran untuk perkembangan ilmu pengetahuan ke depannya.
Hadits
tentang pemimpin dari suku Quraisy
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا سُكَيْنٌ حَدَّثَنَا سَيَّارُ بْنُ سَلَامَةَ سَمِعَ
أَبَا بَرْزَةَ
يَرْفَعُهُ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ
إِذَا اسْتُرْحِمُوا رَحِمُوا وَإِذَا عَاهَدُوا وَفَوْا وَإِذَا حَكَمُوا
عَدَلُوا فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ
وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
(AHMAD - 18941) : Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud telah menceritakan kepada kami Sukain telah menceritakan kepada kami Sayyar bin Salamah; telah mendengar dari Abu Barzah -merafa'kan(menghubungkan hadits) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: "Pemimpin itu dari bangsa Quraisy, karena apabila mereka dimintakan untuk menyayangi, maka mereka akan menyayangi, apabila mereka mengadakan perjanjian maka mereka akan menepatinya, apabila mereka menetapkan hukum, maka mereka akan berbuat adil. Dan barangsiapa yang tidak melaksanakan hal tersebut diantara mereka, maka baginya akan mendapat laknat dari Allah, malaikat dan manusia seluruhnya."
Analisis linguistik dan kajian komfirmatif
الأئمة من قريش lafazh aimmah
jama’ dari imamun yang berarti pemimpin. Adapun lafaz Quraisy menunjuk
kepada salah satu suku di Arab yang merupakan sukunya nabi Muhammad. Lafaz ini
secara harfiah memiliki arti “para pemimpin itu dari golongan Quraisy.” Hal ini
menunjukkan bahwa nabi mengunggulkan suku Quraisy dibandingkan dengan suku-suku
yang lainnya di Arab pada waktu itu. Apakah ini kemudian berarti bahwa nabi Muhammad
seorang yang rasis dan hanya mementingkan golongannya saja?
Dalam bahasa Arab ada beberapa kata yang memiliki makna pemimpin.
Yang pertama seperti redaksi di atas, imamun (إمام). Kemudian ada kata auliya’
(أولياء)
yang sering digunakan dalam al-Quran dan kemudian ada juga kata umara’ dan
ro’in, yang semuanya berarti pemimpin. Pertanyaan kemudian adalah apa
perbedaan kata-kata tersebut secara makna?
Mari kita telusuri kata demi kata ini secara komprehensif. Dalam kamus
al-Mu’jamul Wasith, kata imam yang memiliki bentuk jama’ aimmah,
berarti: “orang yang menjadi pegangan manusia atau yang lainnya. Seperti imam
sholat.”[1] Amir
(أمير)
berarti “memerintah sesuatu atas mereka.” Adapun waliyun yang memiliki
jama’ auliya’ memiliki arti “setiap orang yang memimpin suatu perkara
atau menegakkannya.”[2]
Dari pemaknaan leksikal di atas dapat disimpulkan bahwa kata Imamun,
memiliki pemaknaan lebih condong kepada ritual keagamaan, yakni dalam hal
pemimpin solat atau pemimpin suatu majelis ilmu. Adapun kata waliyun,
memiliki makna yang umum, seperti wali bagi seorang wanita yang akan diakadkan,
wali bagi suatu kelompok masyarakat (kabupaten, provinsi) dan
sebagainya. Adapun amir memiliki makna lebih kepada tradisi
konstitusional, dalam hal ini negara.
Amir dan wali
memiliki kesamaan makna secara penggunaannya, namun jika kita melihat
keterangan dalam al-Mu’jam al-Wasith, maka makna wali lebih umum
dan lebih general, karena wali bisa digunakan dalam hal pemerintahan
maupun urursan-urusan individual atau keagamaan.
Untuk lebih komprehensif analisis linguistik ini, saya akan
tunjukkan beberapa ayat al-Quran yang menggunakan kata auliya’ dan aimmah
51. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.[3]
57. Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat
agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang
Telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik).
dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.[4]
27. Hai anak Adam, janganlah
sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia Telah mengeluarkan kedua
ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk
memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat
mereka. Sesungguhnya kami Telah menjadikan syaitan-syaitan itu
pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.[5]
23. Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika
mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang
menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim[6].
73. Kami Telah menjadikan
mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami
dan Telah kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan Hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,[7]
44. Dan siapa yang
disesatkan Allah Maka tidak ada baginya seorang pemimpinpun sesudah itu. dan
kamu akan melihat orang-orang yang zalim ketika mereka melihat azab berkata:
"Adakah kiranya jalan untuk kembali (ke dunia)?"[8]
Dari keterangan beberapa ayat di atas, semakin jelas bahwa kata
auliya’ memiliki fungsi lebih umum atau menyeluruh dari kata aimmah. Dari
sekian banyak ayat yang kami temukan di atas, aimmah hanya ditemukan dalam
surat alanbiya’ ayat 73. Kandungan ayat tersebut menunjukkan kepada hal yang
sifatnya ritual keagamaan. Adapun kata auliya’ diguanakan dalam menyebutkan
pemimpin-pemimpin dari kaum kafir, dari setan-setan dan sebagainya.
Memang cukup rumit untuk mengidentifikasi secara kongkrit perbedaan
kedua istilah ini, karena dalam penggunaannya menunjukkan banyak kesamaan.
Untuk menentukan kesimpulan dalam diskusi pada kali ini, maka kesimpulan bisa
kita tarik pada perspektif masing-masing.
Kaitan antara hadits di atas dengan ayat-ayat al-Quran yang
disebutkan, kita bisa melihat bagaimana redaksi aimmah dan auliya’ digunakan.
Konten yang ditampilkan al-Quran dalam ayat yang menggunakan auliya’ lebih umum
dari pada konten yang ditampilkan al-Quran ketika menggunakan aimmah.
Dengan demikian, aimmah bisa kita katakan digunakan hanya dalam urusan
keagamaan.
Secara gramatikal, lafaz al-aimmatu min Quraisy diikuti
dengan huruf syarat idz, yang berarti “jika.” Struktur kalimat antara al-aimmatu
min Quraisy tidaklah sempurna tanpa disambungkan dengan kalimat setelahnya.
Artinya, kalimat al-aimmatu min Quraisy membutuhkan keterangan lebih
lanjut yakni pada lafaz idzas turhimu, rahimu dan seterusnya. Dengan
demikian secara gramatika hadits ini memiliki makna bahwa seorang Quraisy itu
menjadi pemimpin “jika” mereka memiliki sifat penyayang, menepati janji dan
adil sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut.
Dari analisis linguistik di atas, bisa dikatakan bahwa hadits diatas
memiliki makna umum dan khusus. Makna umum maksudnya, bahwa pemimpin disana
yang dimaksud adalah pemimpin pada umumnya, yakni sebagaimana karakteristik
pemimpin yang disebutkan kemudian. Di samping itu juga memiliki makna khusus
yakni pemimpin yang paling tepat untuk masyarakat Arab pada waktu itu adalah
pemimpin dari bangsa Quraisy karena mereka memiliki sifat adil, penyayang dan
menepati janji.
Kemudian kenapa orang orang Quraisy yang harus menjadi pemimpin keagamaan umat islam pada waktu itu? jawabnya tentu sudah jelas, karena nabi sendiri adalah seorang kaum Quraisy, dan sahabat-sahabat beliau yang terkemuka adalah orang-orang suku Qurasiy, dan beberapa sahabat yang faqih yang sudah rasul ajarkan tentang pemahaman keagamaan kebanyakan dari suku Quraisy[9], maka sudah barang tentu Rasulullah mengedepankan suku Quraisy dalam persoalan kepemimpinan.
Hadits-hadits yang berkait
Hadits Ahmad nomor 21 tentang memilih pemimpin bukan karena
kecintaan.
(AHMAD - 21) : Telah menceritakan kepada kami Yazid Bin Abdurrabbih
dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Baqiyah Bin Al Walid dia berkata;
Telah menceritakan kepadaku seorang syaikh dari Quraisy dari Raja' Bin Haiwah
dari Junadah Bin Abu Umaiyah dari Yazid bin Abu Sufyan dia berkata; Abu Bakar
berkata ketika mengutusku ke syam; "wahai Yazid sesungguhnya kamu memiliki
kerabat, semoga kamu tidak mengedepankan mereka dalam kepemimpinan, dan hal
itulah yang paling aku takutkan darimu, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda; " Barangsiapa memimpin suatu urusan kaum muslimin,
kemudian mengangkat seseorang untuk mereka atas dasar kecintaan, maka baginya
laknat dari Allah, dan Allah tidak akan menerima amal perbuatan wajibnya dan
juga amal perbuatan Nafilah darinya, sampai Dia memasukkannya kedalam neraka
jahannam, dan barangsiapa memberikan kepada seseorang batasan Allah, kemudian
melanggar sesuatu di dalam batasan Allah tanpa haknya, maka baginya laknat dari
Allah, " atau dia berkata: "Terlepaslah darinya jaminan Allah."
(BUKHARI - 6904) : Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah menceritakan kepada kami
Sufyan dari Al A'masy dari Abu Wail dari Abu Musa berkata, "Datang
seseorang kepada Nabi Shallalahu'alaihiwasallam dan berujar, 'Ada seseorang
yang berperang karena dorongan fanatisme, atau berperang karena ingin
memperlihatkan keberanian, dan ada yang berperang karena ingin dilihat orang,
siapakah yang disebut fi sabilillah? ' Nabi menjawab: "Siapa yang
berperang agar kalimatullah menjadi tinggi, ia berada fii sabilillah."
(IBNUMAJAH - 3938) : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Hilal
As Shawaf telah menceritakan kepada kami Abdul Warits bin Sa'id telah
menceritakan kepada kami Ayyub dari Ghailan bin Jarir dari Ziyad bin Riyyah
dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Barangsiapa berperang di bawah bendera kefanatikan dan menyeru
kepada fanatisme, atau marah karena fanatisme, maka matinya menyerupai mati
jahiliyyah."
(AHMAD - 18906) : Telah mengabarkan pada kami Hasan bin Musa, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Zuhair, ia menyebutkan dari Manshur bin AlMu'tamar dari Abu wa'il ia berkata; Abu Musa berkata; "Seseorang menanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam atau seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang beliau sedang duduk menundukkan kepala beliau, ia bertanya; "Apakah yang disebut berperang di jalan Allah 'azza wajalla, karena sungguh telah ada pada kami seorang yang berjuang karena dorongan fanatisme atau juga berperang karena kemarahan, apakah mereka akan beroleh pahala? Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kepala beliau pada orang tersebut dan kalaupun tidak, seakan beliau berdiri atau hanya sekedar duduk (keraguan ada pada Zuhair bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidaklah mengangkat kepala beliau seraya bersabda: "Barang siapa berperang agar kalimat Allah yang tinggi maka ia berada di jalan Allah 'azza wajalla."
Asbabul wurud makro
Secara khusus penulis tidak menemukan sebab keluarnya hadits ini,
namun jika kita menelusuri sejarah, maka kita akan menemukan bahwa pada awal
kemunculan Islam terjadi clash atau benturan antara kebudayaan Arab dan
ajaran Islam yang dibawa nabi Muhammad. Pada waktu itu, suku yang paling kuat
dan ditakuti di Jazirah Arab adalah suku Quraisy[10],
hal tersebut disebabkan karena suku Quraisy adalah suku yang memiliki
keberanian yang tinggi dalam hal berperang.
Melihat kenyataan ini, maka sudah barang tentu Rasulullah akan
mempertimbangkan hal tersebut dalam menegakkan perjuangannya, maka dalam hal
kepemimpinan Rasulullah memilih orang-orang suku Quraisy, ini juga bisa jadi
dipengaruhi oleh sosiokultural bangsa Arab pada waktu itu, bahwa mereka
memiliki kecendrungan menjadi pemimpin karena ingin dipuji dan dihormati.
Analisis generalisasi
Hadits riwayat imam Ahmad nomor 18941 secara redaksional terkesan
menunjukkan fanatisme golongan, yakni fanatisme terhadap kaum Quraisy. Namun
demikian, hal ini segera bisa diluruskan dengan beberapa hadits maupun ayat
yang berkaitan dengan hadits tersebut. misalkan saja hadits riwayat Bukhari dan
Ibnu Majjah, disana ada hadits yang mengatakan bahwa fanatisme merupakan hal
yang tidak boleh di lakukan di dalam beragama. Dengan demikian, maksud dari
hadits di atas bisa kita maknakan sebagai perwakilan dari karakter seorang
pemimpin.
Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa Quraisy memiliki loyalitas
dan karakter kepemimpinan yang bagus di
antara suku-suku Arab lainnya, seperti memiliki kasih sayang, menepati janji
dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam konteks kekikinian
pesan yang ingin disampaikan hadits tersebut adalah bahwa seorang pemimpin
harus memiliki kasih sayang yang baik, totalitas yang bagus dan mampu berbuat
adil dalam menjalankan kepemimpinannya.
Secara psikologi sosial, hadits tersebut bisa memiliki makna
penyanjungan kepada bangsa Quraisy pada waktu itu. hal ini dilakukan nabi agar
mereka memberikan dukungan kepada nabi. Ini tentulah juga untuk menepis
anggapan orang Quraisy pada waktu itu, bahwa nabi Muhammad hadir untuk
mengambil kedudukan mereka[11]. Mereka
juga berpendapat bahwa nabi Muhammad adalah seorang penyihir[12].
Semua anggapan dan penilain orang Quraisy waktu itu karena ketakutakan bahwa
kekuasaan mereka akan bergeser bahkan musnah digantikan kekuasaan Muhammad. Hal
semacam ini bisa kita analisis menggunakan teori sosial yang ada.
Ibnu Kholdun, seorang sosiolog Islam, memberikan suatu konsep sosial yang dikenal dengan teori asobiah. Teori asobiah sering kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Solidaritas Sosial. Pada prinsipnya, teori asobiah menyatakan bahwa seorang pemimpin membutuhkan dukungan suatu komunitas untuk keberlangsungan kepemimpinannya[13]. Dalam hal ini Rasulullah memuji suku Qurasiy pada waktu itu untuk membentuk asobiah bangsa Arab agar memberikan dukungan kepadanya.
Kritik praktis
Melihat fenomena yang berkembang saat ini, dimana pemimpin
seringkali bertingkah kontradiktif dengan karakter pemimpin yang sesungguhnya,
seperti banyaknya kasus-kasus korupsi yang membelit para pemimpin kita dewasa
ini. di samping itu, tidak sedikit pula pemimpin kita yang terjerat kasus hukum
terkait pembunuhan, pelecehan seksual dan sebagainya. Bercermin dari hadits di
atas, seorang pemimpin seyogyanya memiliki karakater kasih sayang, adil, dan
total dalam mengemban amanah mereka. seorang pemimpin sudah seharusnya bersikap
jujur, menepati janji, adil dan sebagainya agar hakikat kepemimpinan itu bisa
berdiri dengan utuh.
Jika melihat fenomena di indonesia, maka beberapa poin penting dalam
hadits ini bisa diterapkan dalam aktivitas kepemimpinan di negeri ini. hingga
saat ini Indonesia masih jauh dari cita-cita kemerdekaannya. Bahwa kedaulatan
dalam segala bidang adalah harga mati untuk mewujudkan indonesia yang merdeka,
namun demikian kenyataan yang kita hadapi dewasa ini membuat kita miris.
Fenomena yang berkembang di di negeri kita dewasa ini adalah para
pemimpin yang tidak bisa menunaikan tanggung jawabnya dengan benar, masyarakat
dengan demikian mengalami perasaan tidak puas dan menaruh ketidakpercayaan.
Negeri kita kemudian dilanda krisis kepercayaan, yaitu suatu keadaan dimana
begitu sulit menjadi orang yang percaya kepada pemimpin, sesama bahkan mungkin
diri sendiri.
Apa yang dikonsepsikan nabi Muhammad dalam hadits di atas sungguhlah
relevan untuk membangun suatu tata pemerintahan yang baik, yakni dalam rangka
memperkaya kapasitas seorang pemimpin. Sudah tidak penting lagi melihat warna
atau partai dalam menentukan pemempin. Kita harus bisa lebih objektif menilai
seseorang yang akan duduk sebagai pemimpin kita. Mereka dalam hal ini haruslah
bersikap sebagaimana layaknya pemimpin. Bukan mereka yang hanya memiliki
kepedulian pada masa kampanye saja.
Sikap dengan merujuk pada hadits di atas adalah suatu keadaan yang
alamiah (tidak dibuat-buat dan tidak juga musiman), dia lahir dalam jiwa
seseorang yang bersih. Untuk itu, dalam menentukan seorang pemimpin, sekali
lagi kapasitasnya harus diukur secara objektif.
Kesimpulan
Dari kajian tentang hadits di atas, baik penelaahan secara
etimologis maupun terminologis, maka bisa kita simpulkan sebagai berikut:
1.
Hadits di atas memiliki makna informatif tentang karakter
kepemimpinan orang Arab pada masa itu, artinya hadits tersebut tidak bersifat
perintah.
2.
Hadits tersebut menunjukkan pengunggulan suku Quraisy sebagai
pemimpin (dalam hal agama), karena kata aimmah lebih kepada pemimpin
dalam hal keagamaan. Secara konteks, hal tersebut tentulah hal yang wajar karena
kebanyakan sahabat nabi yang faqih dalam hal agama adalah para sahabat dari
kaum Quraisy.
3.
Kontekstualisasi hadits ini untuk masa kini ada pada persyaratan
yang diungkapkan nabi pada hadits itu, bahwa seorang pemimpin harus bersikap
adil, amanah, kasih sayang.
Referensi
Anis, Ibrahim. dkk. Almu’jam al-wasith. 1973, Qairo: Darul
Ma’arif
Hitty, Philip K. History of The Arabs . 2010. Yogyakarta:
PT. Serambi Ilmu
Ibnu Kholdun. Muqoddimah. 2006. Qairo: al-Haiah Almishriah al-Amah
Lilkitab
Ibnu Hisyam. Syiroh Nabawiyah. tanpa tahun. Qairo: Darul
Ma’arif
Lapidus, Ira. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj. 1999,
Jakarta: PT. Raja Grafindo
Sunanto,
Musyrifah. Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. 2004.
Jakarta: Prenada Media
[1] Ibrahim anis dkk. Almu’jam al-wasith Juz I (1973, Qairo: Darul
Ma’arif). H. 27
[2] _____________. Almu’jam al-Wasith Juz II. H. 1058
[3] Q.s. Al-Maidah ayat: 51
[4] Q.s al-maidah ayat: 57
[5] Q.S. Al-Maidah ayat: 25
[6] Q.S. At-Taubah ayat: 23
[7] Q.S al-Anbiya’ ayat: 73
[8] Q.S. as-Syuara’ ayat 44.
[9] Musyrifah Sunanto. Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam, (2004, Jakarta: Prenada Media) H. 21
[10] Philip K Hitty. History of The Arabs, Terj (2010, Yogyakarta:
PT. Serambi Ilmu) Hal. 142
[11] Ibnu Hisyam. Syiroh Nabawiyah.
[12] Ira lapidus. Sejarah Sosial Umat Islam. terj (1999,
Jakarta: PT. Raja Grafindo), hal 36-38
[13] Ibnu Kholdun. Muqoddimah. (2006, Qairo: al-haiah almishriah
al-Amah Lilkitab) hal. 197
Post a Comment for "Hadits Tentang Pemimpin dari Suku Quraisy (Analisis Linguistik dan Kajian Konfirmatif)"