Contoh Makalah Kajian Stilistika Syair Berhasa Arab
Salah satu
kajian bahasa yang berkembang dewasa ini adalah kajian Stilistika. Bidang
kajian yang menggabungkan antara linguistik dan sastra ini memiliki kelebihan
tersendiri di samping kekurangan-kekurangannya. Diantara kelebihan yang
dimiliki bidang kajian ini adalah ranah kajian yang komprehensif yang mencakup
poin-poin penting dalam kerangka studi linguistik mikro dan makro.
Sebagaimana
dikatakan oleh Qalyubi (2013), ranah kajian Stilistika, khususnya dalam
mengkaji bahasa dan sastra Arab ada empat ranah penting: yaitu ranah fonologi (mustawa
sauty), ranah morfologi (mustawa al-sharf), ranah sintaksis (mustawa
al-Nahwi), ranah imageri (mustawa al-tashwiri). Seluruh ranah ini
kemudian menjadi lokus penting kajian Stilistika.
Dalam aplikasinya,
Stilistika dapat digunakan pada berbagai teks yang ada, baik itu al-Quran,
Hadits, Syair, novel atau karya sastra lainnya. Kajian ini kemudian semakin
berkembang seiring dengan perkembangan ilmu bahasa secara umum. Adapun tujuan Stilistika
adalah untuk mendeskripsikan model bahasa dalam bingkai estetika yang mengarah
kepada pemilihan diksi, fonem dan makna. Pada masa-masa selanjutnya Stilistika berkembang
lebih pesat sehingga lahirlah sub-sub ilmu Stilistika di antaranya Stilistika
Pragmatik.
Stilistika
dalam hal elaborasi karya sastra berupa puisi juga sangatlah efektif mengingat
bahasa puisi yang sering kali melibatkan unsur fonetik dan performance
seorang penyair. Terkait dengan hal ini, penulis memiliki keinginan untuk
mengkaji beberapa bait puisi yang dikarang oleh Hafiz Ibrahim. Dia adalah
seorang penyair Mesir yang puisinya banyak bertemakan nasionalisme.
Kajian tentang
tokoh sastrawan Mesir ini memang telah banyak dilakukan. Di antara
kajian-kajian yang ada, penelitian berfokus tentang unsur ekternal dalam puisi atau
syair Hafiz Ibrahim.[1]
Penelitian tersebut melihat bahwa situasi politik di sekitar tahun kehidupan
Hafiz Ibrahim sangat berpengaruh terhadap produksi karya sastra pada masa itu,
termasuk Hafiz Ibrahim sangat terpengaruh oleh sikap kaum kolonialis dan
tekanan psikologis yang dialami pengarang. Di samping itu kajian komparatif
telah dilakukan oleh Muhammad Solahuddin (1985), namun menurut penulis
penelitian tersebut telah gagal memaparkan tujuan penelitiannya secara
sistematis sehingga kesimpulan yang dihasilkan masih sangat buram.[2]
Penelitian juga
pernah dilakukan oleh penulis sendiri yang mengkaji puisi Hafiz Ibrahim
perspektif Sosiologi Sastra. Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa ada
beberapa konsep nasionalisme Hafiz Ibrahim yang di dalamnya terkandung
keinginan kuat untuk mendirikan negara yang merdeka, bebas dari kebodohan,
sinergisitas internasional bangsa-bangsa Arab dan lain sebagainya[3].
Penelitian itu tentu saja berbeda karena penelitian ini menggunakan pendekatan Stilistika.
Penelitian ini akan melengkapi penelitian tedahulu yang pada gilirannya akan
memberikan deskripsi yang lebih komprehensif terkait syair nasionalisme
khususnya yang dikarang oleh Hafiz Ibrahim.
Tulisan ini dengan demikian akan diarahkan kepada bagaimana model puisi Hafiz Ibrahim jika dilihat dari ranah-ranah penting dalam kajian Stilistika. Diharapkan dari tulisan ini adalah sebuah deskripsi yang melihat secara komprehensif puisi (syair) Hafiz Ibrahim berdasarkan pada gaya bahasa dan konten tematik yang disuguhkan. Selain itu analisis ini juga bisa berkontribusi dalam memetakan konsep nasionalisme yang relevan dengan demografi masyarakat timur tengah yang dewasa ini memiliki masalah dengan demokrasi yang mengancam eksistensi nasional negara-negara Timur Tengah.
Biografi singkat Hafiz Ibrahim dan syairnya.
a.
Biografi singkat
Hafiz Ibrahim memiliki
nama lengkap Muhammad bin Hafiz Ibrahim bin Fahmi.[4]
Dia adalah seorang arsitek seperti profesi ayahnya Ibrahim Fahmi. Dia lahir di
Dirut sekitar tahun 1870. Dua tahun setelah kelahirannya ayahnya meninggal
dunia dan diasuh oleh sahabta ayahnya. Sepanjang karirnya dia habiskan sebagai
pegawai kantoran.[5]
Namun demikian Hafiz Ibrahim memiliki kecendrungan sastra sehingga dia banyak
membuat puisi-puisi yang syarat dengan situasi pada waktu itu. kecendrungan
tematik dari puisi hafiz Ibrahim adalah nasionalisme. Itulah kemudian yang
membuat dia digelari lisanul mujtama’ karena dinilai sebagai satrawan
yang banyak menyambung aspirasi masyarakat.
Karir
akademiknya dihabiskan di salah satu madrasah di Dirut. Selepas dari sekolah
menengah atas hafiz Ibrahim kemudian melanjutkan studi ke sekolah ketentaraan
di daerah yang sama. Setelah itu dia kemudian hijrah ke Thonto dan disana dia
mengabdi sebagai polisi. Dalam rutinitasnya sebagai polisi, dia tidak pernah
lepas dari membaca dan menulis. Artinya dalam profesi sebagai polisi dia tetap
melangsungkan tradisi sebagai penulis puisi. Maka dari itu, Hafiz Ibrahim
kemudian tumbuh sebagai sastrawan nasionalis yang mengkritisi aktivitas
kolonialisme di negara Mesir pada waktu itu.
Karir militer
Hafiz Ibrahim terus menanjak hingga direkrut menjadi anggota dalam departemen
kemiliteran dan departemen dalam negeri. Selanjutnya Hafiz Ibrahim juga aktif
sebagai tentara karena tuntutan situasi pada waktu itu.[6]
Telah banyak karya-karya puisinya yang dibukukan dalam berbagai antologi
ataupun biografinya sendiri, diantaranya: Diwanu Hafiz Ibrahim, Mu’jam
Tarajimu as-Syuara, dan lain sebagainya.
b.
Syair nasionalisme Hafiz Ibrahim dan terjemahannya
Dalam tulisan
ini yang dimaksud dengan syair nasionalisme adalah syair yang memiliki
unsur-unsur nasionalisme berupa konten isinya. Adapun objek material yang
digunakan adalah syair hafiz Ibrahim yang berjudul Haditsah Donsway. Untuk
sistematisasi tulisan maka hanya ditentukan sembilan bait puisi Hafiz Ibrahim
tersebut.[7]
Adapun bait-bait syair yang dikaji sebagai berikut:
أيها القائمــون
بالأمــــــــــــــــــــر فينا * قد كســــــــــــــــيتم ولاءنا
والــــــــــــــــــــــــــــودادا
خفضوا جيشكــم وناموا
هنيئا * وابـــــــــــــــــــــتغوا صيدكم وجوبوا البــــــلاد
وإذا
أعـــــوزتكــــــــــــــــم ذات طـوق * بين تــــــــــــــــــــلك الربى
فصيدوا العبادا
إنما نحــــن والحمام
ســـــــــــــــــــــــــــــــــواء * لم تفـــــــــــــــــــارق
أطواقـــــــــــــــــــنا الأجيادا
لا تظنوا بنا العقـــوق
ولكــــــــــــــن * أرشـــــــــــــدونا إذا ضـــــــــــــــللنا
الرشـــــــــادا
لا تقـــــــــــيدوا
مـــــــــــــــن أمـــة بقتيل * صادت الشمس نفسه حينا صادا
جاء
جــــهالـــــــــــنا بأمـــــــــــر وجئتم * ضعف ضعفيه قســــــــــــــــــوة
واشتدادا
أحسنوا القتل إن
ضننــتم بعفو * أقصــــــــــــــــــــاصا أردتم أم
كــــــــــــــــــــــــــــــــــيادا
أحسنوا
القتل إن ضننتم بعفو * أنفـــــــــــــــــــــــــوسا أردتم أم
جــــــــــــــــــــــــــــسادا
Wahai para penjajah
yang berkuasa pada (negara) kami. Engkau telah menumbuhkan loyalitas dan kasih
sayang kami.
Istirahatkanlah
tentaramu dan tidurlah secara tenang. Carilah buruan dan kuasailah negeri.
Jika aku
membuat kalian miskin dan hanya memiliki pengepungan di antara pengawasan itu
maka burulah para budak.
Sesungguhnya
kami dan burung angsa itu sama. Tidak akan terpisah leher kami dengan mengepung
kami.
Jangan menuduh kami
adalah pembangkang. Akan tetapi bimbinglah kami jika kami tersesat dalam
bimbingan.
Jangan
mengancam masyarakat dengan pembunuhan. Matahari memburu dirinya (pemburu) ketika
mereka berdua (tentara) tengah berburu.
Telah datang
kepada kami kebodohan dan kalian datang menghampiri. Berlipat lagi kelemahan
kami dengan kekejaman dan penekanan.
Pertahankanlah
perang, jika kalian tidak menginginkan maaf. Apakah qishoh atau tipu daya yang
kalian inginkan?
Pertahankanlah
perang jika kalian tidak menginginkan maaf Apakah nyawa atau jasad yang kalian
inginkan?
Teori dan Teknik Analisis
Dalam
penelitian ini analisis syair akan menggunakan kerangka teori yang ditawarkan
oleh Qolyubi kaitannya tentang penggunaan stilistika dalam objek material
berupa bahasa dan sastra Arab. Ini sejalan dengan karakter objek dalam
penelitian ini yaitu syair Arab yang sangat relevan untuk dikaji melalui empat
pendekatan tersebut. adapun empat pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan
ranah shauti yaitu melihat aspek fonologisnya. Pendekatan model ini selanjutnya
akan mengidentifikasi implikasi makna dari sebuah pernyataan atau puisi.[8]
Kedua,
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ranah morfologis yang di dalamnya
mengkaji tentang bagaimana kesesuaian domir terkait dengan kaidah gramatikal.
Kemudian yang ketiga adalah aspek sintaksis yang menekankan pada penggunaan
kata-kata secara susunan kaidah bahasa. Dan yang terakhir adalah ranah imageri
yang menekankan pada kajian untuk mencari unsur-unsur pembangun keindahan yang
digunakan penyair dalam puisinya. Hal tersebut mencakup style atau gaya
bahasa.[9]
Adapun teknik analisis dalam penulisan ini adalah model analisis deskriptif interpretatif. Sebagaimana dikatakan Nyoman Kutha Ratna, analisis model deskriptif interpretatif memiliki tujuan elaborasi suatu objek berdasarkan data objektif dengan dibantu oleh pemahaman peneliti terhadap sasaran penelitian.[10] Secara urut model analisis ini kemudian dimulai dengan memetakan beberapa unsur penting dalam puisi Hafiz Ibrahim berdasarkan pada teori yang digunakan, kemudian akan dijelaskan secara terprinci dengan tehnik interpretatif yang dibantu oleh data-data primer ataupun sekunder yang terkait.
Diskusi
1.
Anilisis fonologis
Analisis ranah ini dimaksudkan untuk
mencari pengaruh yang mungkin ditimbulkan dari pilihan bunyi dalam bait-bait
puisi. Kaitannya dengan puisi yang menjadi objek kajian ini maka penulis akan
memfokuskan perhatian pada huruf-huruf qofiayah secara keselurahan.
Dalam kesembilan bait puisi yang dijadikan objek material dalam penelitian ini
penulis melihat bahwa qofiyah dalam puisi-puisi tersebut memiliki
kesamaan yakni memiliki qofiah alif dengan harokah fathah pada akhir baris
puisi.
Bunyi fathah dalam kajian filsafat
bahasa merupakan bunyi yang mengindikasikan perlawanan. Penggunaan fonem ini
menurut penulis merupakan simbol yang menunjukkam tentang perjuangan yang
teramat berat dalam upaya melawan penjajahan. Di samping itu pengarang juga
menggunakan akhiran dal secara keseluruhan. Ini merupakan pola yang
biasa digunakan dalam penulisan syiir Arab untuk menyesuaikan rima.
Penggunaan huruf dal disini,
disamping sebagai pemebentuk qofiyah juga memiliki implikasi makna
tuturan yang tersirat. Sebagaimana yang disinggung Ali Azat, bunyi fonem dalam
bahasa Arab sering kali mewakili makna tertenru dari kata tersebut dengan cara
mengulang-ulangnya.[11] Misalnya
dalam surat an-Nas, di dalamnya terdapat model qofiyah yang
berakhiran bunyi s. Secara berturut-turut bunyi tersebut memunculkan
suatu bunyi yang mewakili istilah bisikan.[12]
Demikian pula dalam puisi Hafiz Ibrahim ini, penggunaan dal sebagai
akhir setiap baris puisi bisa dimaknakan secara perenungan fonologis. Bunyi dal
disini jika diucapkan berulang-ulang maka akan terbentuk suatu bunyi yang
mewakili detak jantung. Implikasi yang ditimbulkan dari penggunaan ini adalah
deskripsi tersitat tentang situasi tegang yang terjadi dimana deta jantung
menjadi semakin menjadi-jadi.
2.
Analisis morfologis
Analisis morfologis bertujuan untuk
menganilisis model perubahan yang terjadi pada suatu kata berdasarkan
klasifikasi kelasnya serta perubahan makna yang menyertainya. Untuk analisis
morfologis ini, penulis tidak menemukan banyak penyimpangan morfologis, namun
ada beberapa yang mungkin merupakan penyimpangan ataupun ambiguitas dalam
kata-kata yang digunakan pengarang. Misalnya pada bait ke enam.
لا تقـــــــــــيدوا
مـــــــــــــــن أمـــة بقتيل * صادت الشمس نفسه حينا صادا
kata yang menunjukkan kegalatan atau dalam bahasanya Qalyubi
ketaksaan atau ambiguitas, kata nafsahu misalanya memiliki
keambiguitasan perihal mutaallaq-nya dhomir hu. Dalam syair ini hu
mungkin kembali kepada syams, tapi kemudian pertanyaan muncul bahwa kata
syams sebelumnya telah didahului oleh fiil madhi yang bersambung dengan ta’
ta’nits yang menunjukkan muannats. Menurut penulis jika kita melihat
realitas di balik munculnya puisi ini, bahwa telah terjadi pertikaian antara
masyarakat dan beberapa tentara Inggris yang melakukan perburuan.[13] Namun
terjadi pertikaian antara tentara yang berburu dengan masyarakat yang ada di
sekitarnya sehingga terjadilah “Tragedi Donswei” yang kemudian menjadi judul
puisi itu.
Berdasarkan pada data ini mungkin
kalimat nafsahu di sini kembali kepada dua diantara tentara yang ada.
pernyataan ini bisa dikuatkan dengan penggunaan dhomir tatsniah (alif)
pada kata hinaa dan shodaa. Lantas kenapa kemudian dua orang itu
hanya didhomirkan dengan dhomir hu yang menunjukkan kata ganti mufrad
mudzakkar? Ini mungkin karena pengarang ingin meremehkan dan menganggap
lemah tentara yang bertugas di negaranya yakni dengan menyebutkan dua orang
dengan kata ganti satu. Dengan demikian kutipan ini bisa jadi bentuk sikap
perlawanan dengan menyindir para tentara penjajah yang ada di negaranya
(Mesir).
Selain itu penyimpangan morfologis
bisa kita lihat pada kalimat جاء
جهالنا yang secara gramatik
seharusnya جائت جهالتنا berdasarkan pada kata-kata dalam kamus yang pernah peneliti
telusuri. Penggunaan bentuk tersebut bisa jadi merupakan bentuk penekanan
keadaan dimana bentuk mudzakkar digunakan karena keadaan bodoh (juhalah)
tersebut sudah sangat bercokol pada diri masyarakat dan ditambah lagi dengan
imperialisme yang dilakukan oleh para tentara Inggris dan Eropa lainnya.
3. Analisis
Sintaksis
Ada beberapa penyimpangan sintaksis yang
terdapat dalam puisi Hafiz Ibrahim tersebut. berikut akan penulis tuliskan
berdasarkan poin-poinnya.
a. Menghilangkan mudhof kemudian
menarik mudhofun ilaih menjadi majrur
Misalnya
pada awal puisi dikatakan oleh penyair:
أيها القائمــون
بالأمــــــــــــــــــــر فينا * قد كســــــــــــــــيتم ولاءنا
والــــــــــــــــــــــــــــودادا
Pada bait puisi tersebut, kata fii naa merupakan bentuk
ringkas dari redaksi fii biladina, karena secara sintagmatik penjajah
tentunya berkuasa pada negara bukan pada pribadi seseorang. Pernyataan ini
sepertinya digunakan untuk menolak kekuasaan imperialis di tanah mereka dengan
mengatakan bahwa yang mereka kuasai sejatinya hanya sebatas orang-orang yang
ada di dalam suatu negara yang sangat bersifat individu masyarkat, namun
demikian secara kolektif tentu saja tidak akan pernah penjajah bisa menguasai mereka.
Dengan demikian pernyataan ini juga semacam ajakan untuk bersatu jika ditinjau
secara akontrorionya (mafhum mukholafah).
b. Mengakhirkan posisi fail dari
yang lainnya.
Contoh
untuk model ini ada pada bait ke empat.
إنما نحــــن والحمام
ســـــــــــــــــــــــــــــــــواء * لم تفـــــــــــــــــــارق
أطواقـــــــــــــــــــنا الأجيادا
Kata atwaquna didahulukan dari ajyada yang secara
sintaksis merupakan fail tafaroqa. Jika disuguhkan secara urutan
gramatik maka kalimat tersebut seharusnya berbunyi:
لم تفـــــــــــــــــــارق
أجيادنا أطواقا
Kalimat di atas bermakna bahwa tidak akan terpisah leher kami
dengan pengepungan. Penggunaan kalimat dalam syair jika melihat wazan puisi,
itu dilakukan karena mengikuti qofiah yang digunakan dalam puisi
tersebut yakni untuk mensesuaikan pola rima.
4.
Analisis Imageri
Analisis imageri bertujuan untuk
mengelaborasi gaya bahasa atau style seorang penyair dalam puisi atau
syairnya. Di antara gaya bahasa yang digunakan oleh Hafiz Ibrahim adalah:
-
Perumpamaan (tasybih)
إنما نحــــن والحمام
ســـــــــــــــــــــــــــــــــواء
Kalimat di atas merupakan tasybih
dimana penyair yang menggunakan bentuk mutakallim jama’ (mengatasnamakan
masyarakat). penyair menyamakan diri dengan burung merpati karena dalam hal ini
pengarang melihat bahwa masyarakat diperlakukan oleh tentara penjajah seperti
memperlakukan bintang buruan. Hal ini karena pada saat itu binatang yang sering
diburu oleh tentara penjajah adalah burung-burung, di antaranya burung merapi.
Namun demikian ditegaskan oleh penyair dalam lanjutan syairnya bahwa meskipun
mereka seperti burung merpati, tetapi mereka tidak akan bisa tertangkap hanya
dengan mengepung keberadaan mereka, karena tentunya mereka bisa terbang.
Penggunaan perumpamaan ini bertujuan untuk memotivasi masyarakat mesir pada
waktu itu untuk tidak selalu menerima penindasan dengan menyerakan diri untuk
dianiaya. Mereka bisa melawan dimana perlawanan itu dilambangkan dengan sayap
merpati yang bisa membuat seekor burung bisa terbang ketika ada ancaman.
-
Metafora (Istiaroh)
Contoh untuk hal ini pada bait
berikut:
لا تقـــــــــــيدوا مـــــــــــــــن
أمـــة بقتيل * صادت الشمس نفسه حينا صادا
Bait ini mengandung unsur metafor
dimana penyair menggunakan kata shoda ‘berburu’ untuk subjek (pelaku)
matahari. Secara interpretatif matahari diumpamakan sebagai pemburu para pemburu.
Artinya ketika tentara penjajah melakukan perburuan di daerah pribumi, maka
sesungguhnya ada matahari yang tengah memburu mereka. matahari disini
disimbolkan sebagai kekuatan besar rakyat yang sejatinya akan mampu mematahkan
eksistensi penjajah di negeri mereka. Dengan demikian penekanan yang diinginkan
penyair dengan menggunakan matahari sebagai pemburunya pemburu merupakan bentuk
demonstrasi kekuakatan sesunggunya yang akan mampu melawan penjajah yakni
masyarakat itu sendiri sebagai rakyat yang berhak atas apapun di wilayah
mereka.
-
Sindiran (Kinayah)
Dalam puisinya hafiz ibrahim banyak
menggunakan bahasa sindiran (kinayah) seperti yang bisa kita lihat pada
bait berikut (bait ke-2):
خفضوا جيشكــم وناموا هنيئا *
وابـــــــــــــــــــــتغوا صيدكم وجوبوا البــــــلاد
Bait puisi ini mengandung
permakluman kepada tentara penjajah untuk mengistirahatkan tentara mereka dan
mempersilahkan mereka tidur dengan nyaman dan tenang. Serta mempersilahkan
mereka juga untuk berburu dan menguasai negara. Namun ajakan ini kemudian
dimentahkan oleh bait kedua dengan mengatakan: apabila aku telah menjadikan
kalian fakir disebabkan pengepungan diantara pengawalan itu maka burulah budak.
Artinya kaum penjajah diposisikan sebagai mahluk terendah yang hanya boleh
menggunakan budak-budak.
-
Ancaman
Ancaman yang dimaksud di sini adalah
kata-kata atau bait puisi yang memiliki unsur menantang dan menggertak yang
bertujuan untuk memberikan tekanan psikologis terhadap objek tuturan. (bait ke
8-9)
أحسنوا القتل إن
ضننــتم بعفو * أقصــــــــــــــــــــاصا أردتم أم
كــــــــــــــــــــــــــــــــــيادا
أحسنوا
القتل إن ضننتم بعفو * أنفـــــــــــــــــــــــــوسا أردتم أم
جــــــــــــــــــــــــــــسادا
Kedua bait puisi ini memiliki substansi menantang dengan bahasa yang cukup lugas, keras dan terang.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan di muka, dapat disimpulkan bahwa syair-syair nasionalisme Hafiz Ibrahim memiliki ciri-ciri stilistik yang bisa dilihat dari beberapa ranah kajian. Dari sisi fonologis, syair tersebut memiliki model konsistensi qofiah yang mana di akhir bait puisi selalu menggunakan fonem yang sama yaitu dal dengan harokat fathah. Dari sisi morfologis terdapat beberapa penyimpangan morfologis seperti ketidakjelasaan tempat bergantung (mutaallaq) kata ganti. Demikian pula dengan ranah sintaksis, terdapat beberapa peruabahan redaksional yang berimplikasi terhadap pengembangan ataupun penekanan makna puisi. Adapun dari sisi Imageri, Hafiz Ibrahim memiliki gaya bahasa yang menggunakan perumpamaan, sindiran dan ancaman.
Referensi
Al-Hatim, Juzef. Al-Mufid fil Adabil Aroby. 1969. Birut:
Al-Maktabah At-Tijari
Azat, Ali. Al-Ittijahat
al-Haditsah fi Ilmil Asalib wa Tahlilil Khitob. 1996. Kairo: Syarikah Abul
Haul lin Nasyri
Dhoyf, Syaoqi. Al-Adabul Aroby al-Mu’ashir fi Mishr. Tanpa
tahun. Kairo: Darul Ma’arif
Murad, Yahya. Mu’jam Tarajimu as-Syuara. 2006. Kairo: Darul
Hadits
Muhammad Amin, dkk. Diwanu Hafiz
Ibrahim. 1987. Kairo: al-Hai’ah al-Mishriah al-Amah
Noname. Al-anashir al-Khorijiah fi Qosidah Imriyat li Hafiz
Ibrahim.
Ratna, Nyuman Kutha. Teori,
Metode dan Teknik Penelitian Sastra. 2012. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Qalyubi, Syihabuddin. Stilistika Bahasa dan Sastra Arab.
2013. Yogyakarta: Karya Media
_________________ . Stilistika
Al-Quran; Makna di Balik Kisah Ibrahim. 2009. Yogyakarta: Lkis.
Solahuddin, Muhammad. Al-Wathoniyah
fi Syi’ri Hafiz Ibrahim. Albahtsu al-Jami’i. 1985. Yogyakarta: Fakultas
Adab dan Ilmu Budaya.
War’i, Muhammad. Al-Wathoniyah
Li Hafiz Ibrahim; Dirosah Susiulujiah al-Adab. Albahtsu al-jami’i. 2014.
Malang: Fakutas Humaniora UIN Maliki Malang.
[1] Noname. Al-anashir
al-Khorijiah fi Qosidah Imriyat li Hafiz Ibrahim.
[2] Muhammad
Solahuddin. Al-Wathoniyah fi Syi’ri Hafiz Ibrahim. Albahtsu al-Jami’i
(1985, Yogyakarta: Fakultas Adab dan Ilmu Budaya).
[3] Muhammad
War’i. Al-Wathoniyah Li Hafiz Ibrahim; Dirosah Susiulujiah al-Adab.
Albahtsu al-jami’i. (2014, Malang: Fakutas Humaniora UIN Maliki Malang).
[4] Yahya Murad. Mu’jam
Tarajimu as-Syuara. (Kairo, 2006: Darul Hadits) hlm, 332
[5] Ibid.
332
[6] Syaoqi Dhoyf. Al-Adabul
Aroby al-Mu’ashir fi Mishr. (Kairo: Darul Ma’arif) hlm, 100
[7] Muhammad Amin,
dkk. Diwanu Hafiz Ibrahim. (1987, Kairo: al-Hai’ah al-Mishriah al-Amah)
hlm, 47
[8] Syihabuddin
Qalyubi. Stilistika Bahasa dan Sastra Arab. (2013, Yogyakarta: Karya Media)
hlm. 114
[9] Ibid. Hlm, 117
[10] Nyoman Kutha
Ratna. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. (2012, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar) hlm, 53
[11] Ali Azat. Al-Ittijahat
al-Haditsah fi Ilmil Asalib wa Tahlilil Khitob. (1996, Kairo: Syarikah Abul
Haul lin Nasyri) hlm, 17
[12] Syihabuddin
Qalyubi. Stilistika Bahasa dan Sastra Arab.... hlm.
[13] Juzef
al-Hatim. Al-Mufid fil Adabil Aroby. (1969, Birut: Al-Maktabah
At-Tijari) hlm, 55
Post a Comment for "Contoh Makalah Kajian Stilistika Syair Berhasa Arab"