Menyatukan NW Lahir dan Batin
Terbitnya SK Kemenkumham yang berisi legalitas
salah satu dari dua pecahan Nahdlatul Wathan (NW) sebagai ormas yang sah secara
konstitusi telah dimaknai oleh beberapa kalangan sebagai bentuk menyatunya NW. Pendapat
ini tentu saja suatu simplikasi yang over. Sejatinya, mereka yang
mengatakan NW bersatu hanya karena SK, telah menyederhanakan problem pelik yang
telah mengakar di tubuh NW. Kita mungkin bisa menyatakan NW satu melalui lembar
pengesahan Undang-Undang, tetapi faktanya, menyatukan sayap-sayap kultural yang
mengelilingi NW tidak sesederhana lembar Surat Keputusan. Selain secara konstitusional,
NW perlu disatukan secara kultural. Inilah yang saya sebut menyatukan NW lahir
dan batin.
Berbicara konstitusi, tentu kita semua sudah
banyak yang melek hukum, mampu membaca, dan melihat dengan mata, mana NW yang
dilegalkan negara. Namun demikian basis masa yang telah terlanjur terbelah, dan
telah melahirkan rumah ideologi yang mapan dalam diri masing-masing pengikut
adalah realitas kultural yang tak bisa dipandang sebelah mata. Oleh karena itu
memaksa mereka untuk menjadi NW yang sesuai SK tidaklah mudah. Baik dia
memahami hukum ataupun tidak!
Seperti yang banyak orang sebutkan, dualisme NW bukanlah
masalah sederhana. Di dalamnya berlangsung konflik, kenangan, ideologi, dan
psikologi bermacam kalangan. Menyatukan itu tidaklah mungkin hanya dengan
teriak-teriak, “ini yang sesuai hukum”, “ini yang sesuai kehendak Maulana”,
“ini pewaris sesungguhnya”, serta berbagai pernyataan serupa yang sekali lagi
hanya berbentuk jastifikasi semata.
Telah puluhan tahun sudah NW berjalan dalam dua
gerbong yang kini sudah sama-sama mapan. Keduanya memiliki basis massa yang
tidak sedikit. Setiap hari ulang tahun (HULTAH NWDI) kita selalu menyaksikan
lautan manusia di kedua tempat basis NW itu. Ini seharusnya menyadarkan kita
bahwa dualisme NW suatu yang kompleks.
Meskipun melebur dualisme NW adalah sesuatu yang
hampir merupakan mission impossible, namun upaya menyatukannya harus
selalu diikhtiarkan, terlebih dalam merefleksikan 68 tahun Nahdlatul Wathan
mengepakkan sayapnya. Dalam hal ini beberapa hal yang bisa kita lakukan sembari
terus membuka keran dialog untuk meluluhkan debu-debu fanatisme yang masih
banyak membalut jiwa-jiwa sebagian kalangan.
Pertama, perlu kita ingat kembali bahwa tujuan organisasi
Nahdlatul Wathan sebagaimana amanat sang pendiri adalah lii’lai kalimatillah
wal islam wal muslimin (untuk menegakkan kalimat Allah, Islam dan
orang-orang muslim). Tujuan ini saya rasa sangat universal dengan dimensi
cakupan makna yang sangat luas. Saya yakin ketika kita mengingat tujuan ini
dengan meresapinya dalam-dalam, maka tidak ada kesempatan untuk memikirkan
kotak-kotak yang sempit seperti dualisme.
Kedua, bisakah kita berpikir: semakin banyak bahan
bakar maka akan menjadikan suatu kendaraan tetap mampu berjalan untuk jarak
yang panjang? NW adalah kendaraan besar, dua Tuan Guru Bajang, puluhan Masyaikh,
dua permata Maulana, saya rasa adalah bahan bakar yang tidak boleh dibuang sebagiannya,
guna mempertahankan eksistensi organisasi Nahdlatul Wathan. Oleh karena itu,
orang-orang yang masih menyalakan api permusuhan diantara dua tuan guru bajang,
dua putri maulana, juga para masaikh, adalah orang-orang yang tidak
menginginkan kendaraan besar NW ini terus berjalan! Mereka menginginkan kendaraan itu mogok, bahkan berhenti
berjalan. Mereka inilah penghianat organisasi sesungguhnya!
Ketiga, kita perlu langkah-langkah penyatuan NW lahir
dan batin. Iya, tidak hanya permohonan maaf, islah antara NW Pancor dan NW
Anjani harus dihadirkan secara lahir dan batin. Jika yang saling bermaafan
hanya lahir, sementara batin masih penuh perasangka, maka islah hanyalah
sebuah momen yang tak akan bertahan lama. Kita telah pernah menyaksikan ini di
masa lampau saat islah hanya lahir untuk menyambut momen tertentu yang bersifat
temporal.
Di usia Nahdlatul Wathan yang memasuki 68 tahun
ini, perlu kita susuri kembali tapak-tapak sejarah, literasi, serta wasiat yang
telah ditinggalkan untuk para penerus NW. Sudah seharusnya kita hadirkan
dialektika NW dalam selimut peradaban yang lebih positif dan konstruktif. Tak
lagi terselubung dalam selimut dualisme yang mengekang gerak kemajuan. Semoga
isu-isu dualisme semakin menumpul untuk mempertajam persatuan dan kesatuan menuju
peradaban Islam dan kaum muslimin yang mapan sebagaimana tujuan utama
berdirinya organisasi Nahdlatul Wathan.
Post a Comment for "Menyatukan NW Lahir dan Batin"