Suara NW di Lombok Tengah Seperti Fatamorgana, Ada Tapi Tiada
Nahdlatul Wathan (NW) mungkin terheran-heran, ada
apa sebenarnya dengan Lombok Tengah. Sudah sekian pemilu dilangsungkan,
seberkali-kali itu pula calon yang didukung mengalami kekalahan. Sejatinya dalam
bentang sejarah, Lombok Tengah adalah basis NW yang cukup kuat, banyak hal-hal
besar dari sejarah NW berlangsung di Lombok Tengah, termasuk dan yang paling
pasti diingat, bahwa Muktamar NW yang bersejarah itu dilangsungkan di Lombok
Tengah!
Namun, nampaknya garis sejarah yang nampak terukir
itu tak berpengaruh besar dalam dinamika pilihan politik Nahdlatul Wathan. Pada
Pemilukada tempo hari, NW kembali menegaskan dukungannya pada salah satu calon.
Hasilnya, cukup menampar wajah, seperti Pilkada-pilkada sebelumnya, calon yang
diusung NW kalah! Ada apa sebenarnya dengan NW di Lombok Tengah? Secara struktural
NW sudah cukup mapan di wilayah tersebut, tetapi mungkin secara kultural,
orang-orang NW sudah beralih warna. Kenyataan itulah yang membuat saya menyebut
suara NW di Lombok Tengah seperti fatamorgana, ada tapi tiada!
Kita patut bertanya dengan sungguh, mengapa suara NW
menjadi terseok-seok, terkesan tidak kompak, tidak taat pimpinan? Mari kita
lihat fenomena ini dalam kacamata sosiologi politik. Beberapa hal mugkin
menjadi penyebabnya, Pertama, ada pola menurunnya karisma identitas ke-NW-an
dalam diri jamaah Nahdlatul Wathan di Lombok Tengah. Hal ini dipengaruhi oleh
gesekan identitas Yatofa yang lebih mengakar dan tersentral di daerah mereka,
sehingga identitas tersebut perlahan mengalahkan identitas Ke-NW-an yang
sebelumnya didapat melalui proses warisan. Iya, generasi tua sudah mulai hilang
dan digantikan mereka-mereka yang baru. Karena
baru, mereka tidak memiliki akar identitas yang kuat.
Kedua, karisma pemimpin Lombok Tengah sebelumnya yang
sangat kuat tertanam di masyarakat Lombok
Tengah. Mengingat apiliasi politik bupati tersebut mengarah ke calon yang
berlawanan dengan calon yang diusung NW, hal ini menjadi mungkin bahwa jejak
ketokohan Pak Suhaili mengakar kuat dalam diri masyarakat Lombok Tengah. Hal
ini sejalan dengan laporan Litbang Kompas beberapa waktu lalu, bahwa peran
petahana ikut memberikan kemenangan calon tertentu.
Ketiga, masyarakat NW di Lombok tengah sepertinya
mengalami skeptisitas berorganisasi melihat roda organisasi NW yang hanya
terlihat bergerak saat musim politik semata. Misalnya, Pengurus Besar Nahdlatul
Wathan (PBNW) beramai-ramai turun masyarakat saat acara kampanye, sementara
momen-momen lain terlihat sepi dan tidak ada gerakan. Setidaknya hal ini akan
mempengaruhi loyalitas pengikut NW terutama kalangan milenial yang sudah
mendapatkan sentuhan pengetahuan dan pemikiran yang lebih terbaru. Jika hipotesis
ini benar, maka ancaman sumpah, penghianatan, atau lainnya tidak akan
berpengaruh banyak kepada para anggota organisasi.
Tiga alasan tersebut adalah poin general yang bisa
kita gambarkan, mungkin banyak poin lainnya, namun inilah yang paling
berpengaruh. Dengan melihat fenomena tersebut, orang-orang NW sepertinya
mengalami disintegrasi identitas Ke-NW-an, mereka memang secara struktural
sebagai anggota NW tetapi dalam interaksi sosial, dan tentu saja pilihan
poliltiknya, tidak lagi terpaku pada aturan organisasinya. Inilah yang
menjadikan NW sulit memenangkan pemilu meski dengan statistik keanggotan yang
tinggi.
Dalam hal ini, NW perlu berebenah. Roda orgnisasi
perlu terus bergerak dalam semua lini, tidak hanya dalam urusan politik. Saya yakin
lunturnya ketaatan para anggota NW dalam memilih calon yang diinstruksikan PBNW
karena tidak adanya gerakan yang massif untuk membimbing dan mendampingi ummat
dalam bidang kehidupan lainnya seperti dakwah, ekonomi, sosial budaya. Semoga kedepannya
NW bisa berbenah untuk menata organisasi lebih baik lagi, agar suara NW tidak
lagi seperti fatamorgana, yang ada tapi tiada!
Post a Comment for "Suara NW di Lombok Tengah Seperti Fatamorgana, Ada Tapi Tiada"