Agama dalam Banner Kampanye Politik
Musim politik di negeri mayoritas muslim ini memang cendrung menunjukkan
pola yang sama. Yakni mempertontonkan identitas agama dalam alat peraga kampanye partai politik. Artinya identitas agama dipaksa hadir sebagai representasi
kualitas seseorang yang memutuskan diri untuk turut dalam percaturan politik. Namun
sayang, upaya menghadirkan agama dalam simbol-simbol telah memaksa lahirnya
redefinisi kesalehan dalam konteks realitas sosial masyarakat.
Bentuk pengakomodasian agama oleh partai politik terlihat dari
simbol-simbol eksistensial keagamaan, seperti surban, jubah, topi putih, dan
lainnya. Semua tentunya telah memahami, bahwa identitas agama telah mengalami
reduksi yang mengkhawatirkan. Ruang identitas agama telah digiring untuk hanya
berkutat pada tampilan seseorang. Sementara esensi dari nilai agama itu
mengalami pengaburan.
Melihat kontestasi politik, umumnya yang ada di Indonesia, ada upaya
pendaangkalan nilai agama melalui pemaksaan identitas keagamaan yang dipaksa
hadir melalui citra-citra yang terkadang menipu. Dalam hal ini, penulis melihat
fenomena kontestasi politik di pulau Lombok. Tahun ini daerah Lombok Tengah
akan melangsungkan pemilihan bupati. Dan sejak berbulan-bulan lalu telah nampak
alat praga kampanye. Dari berbagai alat kampanye yang nampak di pinggir-pinggir
jalan, ada pola yang sama dan berulang-ulang dari musim-musim politik. Yakni politisasi
identitas agama. Iya, masih sama dengan musim-musim sebelumnya, pasangan yang
bersurban, berkupyah, berkoko, bahkan juga lebih mendalam dengan menghadirkan
gelar-gelar keagamaan seperti tuan guru dan kiyai di nama calon bupati.
Memang, Lombok sebagai daerah dengan mayoritas muslim tentunya memiliki
pemilih rata-rata muslim. Hal tersebut mendorong analis politik akan
menyarankan untuk penggunaan simbol-simbol agama guna mengarahkan psikologi
sosial sebagai kelompok muslim. Para pemilih muslim kemudian diketuk alam bawah
sadarnya untuk memilih pasangan yang paling mewakili identitas keislaman
mereka. Sayangnya identitas ini hanya dipaksa hadir dalam ruang eksistensi
semata.
Fenomena ini menunjukkan bahwa agama masih menjadi ladang empuk para timses
politik untuk menggaet suara sebanyak-banyaknya. Mereka menjadikan identitas
agama sebagai salah satu roda politik yang penting, sehingga kehadirannya
menjadi warna yang pasti hadir dalam proses kampanye.
Mungkin memang setiap orang berhak atas tindakan keagamaannya termasuk
menjadikan agama mereka sebagai roda politik, namun demikian kenyataan
tereduksinya nilai agama menjadi hanyalah seungguk simbol dengan makna yang
terpasung telah menciderai hakikat beragama itu sendiri. Agama yang pada
prinsipnya memiliki nilai-nilai untuk membangun kualitas seseorang terciderai
dengan simbolisasi identitas keagamaan. Oleh karena itu perlu kita melihat
fenomena politisasi simbol agama secara terbuka dan cerdas.
Untuk menjaga identitas keagamaan yang sesungguhnya, maka bagi para pemeluk
agama harus lebih kritis dalam melihat simbol agama yang digunakan pasangan
partai politik. Kita tidak boleh ditipu melalui demonstrasi simbol keagamaan
yang seolah-olah merepresentasikan nilai-nilai agama kita, padahal hanya untuk
motif syahwat politik yang membahayakan. Kita patut membaca track record
pasangan calon untuk mengetahui kualitas mereka yang sebenarnya. Dalam hal ini
penting untuk memperkaya literasi politik masyarakat melaui akses sumber-sumber
bacaan yang memadai.
Kita sepatutnya belajar dari lalu lalang sejarah politik kita, bahwa para
calon bersurban dan berkopiyah telah banyak terjerat kasus korupsi dan tindakan
penghianatan lainnya. Mari kita nilai pasangan politik secara objektif, melalui
program yang mereka canangkan, melalui prestasi-prestasi yang telah mereka
toreh, serta melalui diskusi-diskusi konstruktif terhadap persoalan yang
dihadapi daerah maupun negara hari ini dan yang akan datang. Semoga tahun-tahun
politik yang telah menggunung itu mampu memberikan kita pelajaran untuk
pendewasaan demokrasi di negeri para penganut agama ini.
Post a Comment for "Agama dalam Banner Kampanye Politik"