Menyelamatkan Sistem Etika dalam Tradisi Tutur Bangsa Indonesia
Jika kita lihat di beberapa daerah di Indonesia, kesantunan berbahasa menjadi salah satu indikator kesalehan etis dari seseorang.
Banyak kalangan menilai bahwa etika
berbicara, bersikap, dan berdialog dalam interaksi sosial mengalami disintegrasi moral yang teramat mengkhawatirkan. Beberapa kasus
yang menunjukkan hal tersebut telah banyak ditemukan baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Sejatinya, perdebatan tentang standar
etika memang tidak pernah usai bahkan hingga detik ini. Mereka yang dianggap
tidak etis pun sering kali memiliki pandangan yang berbeda dengan sistem etika
sehingga mereka merasa tidak memiliki kesalahan ketika bersikap atau bertingkah
tertentu.
Secara filosofis, standar etika
ditentukan oleh pendirian paradigmatik yang dianut oleh seseorang. Ada yang
berbentuk egoisme psikologis, yakni mereka menggunakan standar kenyaman diri.
Artinya ketika mereka nyaman dengan cara mereka bertingkah atau bertutur, tidak
peduli dengan respon orang lain atas cara mereka. Kedua, ada pola paradigma
kontrak sosial dimana standar nilai dalam sebuah sikap ditentukan oleh sistem
sosial yang mengelilinginya (James Rachels, 2010).
Kedua model ini lah yang sering kali
menjadi standar sehingga ada yang menyalahkan ada pula yang membenarkan. Ini
karena kaca mata yang digunakan berbeda-beda.
Terlepas dari ‘tak terbatasnya’ ruang
intelektual yang memberikan kesempatan kepada relativitas untuk bergerak dengan
bebas, saya kira sistem etika itu tidak bisa dipaksakan untuk mengikut pada
model standar tertentu, karena memang setiap sistem nilai antara satu wilayah
dengan wilayah yang lain bisa jadi berbeda-beda.
Saya mengikuti pendapat yang
mengatakan bahwa sistem etika itu sejatinya tertanam dalam sistem bahasa.
Mari kita lihat dengan berkaca pada
realitas kebudayaan yang dimliki bangsa ini. Jika kita lihat di beberapa daerah
di Indonesia, kesantunan berbahasa menjadi salah satu indikator kesalehan etis
dari seseorang.
Di Jawa, Sunda dan Lombok misalnya,
ada strata penggunaan bahasa: halus, biasa dan kasar. Penggunaan ragam bahasa
tersebut ditentukan oleh lawan bicara. Jika yang dilawan bicara adalah orang
tua maka bahasa yang digunakan adalah bahasa yang lebih halus.
Dari data fenomenologis tersebut,
bisa dikatakan bahwa sistem etika (terutama yang tinggal di Indonesia) tertanam
dalam sistem bahasa yang dimiliki yang tersebar di daerah-daerah.
Nampaknya, kenyataan penting
diataslah yang mulai hilang dari tradisi bangsa kita. Mereka melupakan bahasa
daerah mereka, sehingga nilai-nilai etika juga menjadi bias dalam tindakan
mereka.
Apakah kemudian bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional tidak memiliki sistem etika di dalamnya?
Harus diakui bahwa bahasa Indonesia
adalah bahasa yang terlahir belakangan dibanding dengan eksistensi bangsa
Indonesia secara fundamental. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional hanyalah
sebuah langkah pemersatu untuk mampu merebut kemerdekaan. Oleh karena itu
sistem etika yang terkandung dalam sistem bahasa Indonesia sangat terbatas
(untuk tidak mengatakan tidak ada).
Oleh karena itu sangat dibutuhkan
sikap untuk mengakar dalam tradisi lokal bagi setiap manusia Indonesia yang
tersebar dari berbagai daerah dengan tetap memandang tradisi Indonesia secara
nasional sebagai frame pemersatu.
Saya rasa munculnya generasi-generasi
yang cendrung arogan dalam berbahasa disebabkan karena ketidakhadiran etika
dalam bahasa tuturnya. Ketidakhadiran etika dalam bahasa tutur ini disebabkan
karena melupakan bahasa daerah sebagai benih dari nilai-nilai etika yang
penting.
Oleh karena itu
dibutuhkan langkah-langkah untuk menyelamatkan hilangnya sistem etika yang terjadi
seiring dengan ditinggalkannya bahasa daerah sebagai wadah dari sistem
tersebut. Dalam hal ini beberapa hal bisa dilakukan. Pertama, setiap warga
negara di negeri ini harus menguasai bahasa daerah mereka yakni dengan
pembiasaan sosial yang kuat. Untuk mendukung hal ini para penutur bahasa harus membuka
diri dalam ruang sosial mereka.
Melalui asumsi
diatas, hilangnya kemampuan bahasa daerah bisa dikatakan disebabkan oleh tertutupnya
akses sosial seseorang yang mungkin dipengaruhi oleh tradisi keluarga yang
introvet, atau karena pengaruh teknologi yang ‘kebablasan’ seperti kecanduan
game online sehingga menyulap seseorang menjadi lebih tertutup. ketertutupan
itulah yang melahirkan matinya tradisi tutur yang ikut membunuh kemampuan berbahasa
daerah seseorang.
Kedua, keluarga
perlu hadir sebagai komunitas terkecil masyarakat untuk menanamkan cinta bahasa
daerah sehingga mereka tidak melupakan bahasa lokal mereka guna menyelematkan
sistem etika yang pastinya ada di dalamnya.
Ketiga, negara
harus ikut campur dalam mengkampanyekan dan bahkan menekan masyrakat untuk
mendekatkan mereka pada tradisi tutur bahasa lokal guna menyelamatkan kekayaan
sistem etika di dalamnya. Sejatinya hal ini sudah dilakukan oleh negera melalui
Lembaga Bahasa yang ada di daerah-daerah denga selogan mereka: “Utamakan bahasa
Indonesia, Pelajari bahasa Asing, Lestarikan bahasa Daerah”. Namun demikian
motto tersebut masih belum terinternalisasi dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat
dewasa ini.
Jika ketiga
langkah tersebut bisa dilakukan dengan maksimal, maka ancaman punahnya bahasa
daerah bisa dicegah guna menyelamatkan sistem etika yang ada di dalamnya. Kita
berharap bahwa bahasa Indonesia tetap eksis sebagai bahasa pemersatu, dan juga
bahasa daerah sebagai bahasa penumbuh etika tutur.
Post a Comment for "Menyelamatkan Sistem Etika dalam Tradisi Tutur Bangsa Indonesia"