Semiotika Benang Putih dan Benang Hitam
Salah satu ketentuan yang dibuat al-Quran bagi
orang berpuasa adalah batasan waktu makan. Dalam al-Quran surat albaqarah ayat
187 disebutkan: waqulu wasyrabu hatta yatabayaana lakumul khoithul abyadhu
minal khoitil aswadi minal fajr. ‘Makan dan minulah hingga jelas bagi
kalian (perbedaan) benang putih dari benang hitam yakni fajar’. Tulisan ini
akan mengkaji istilah benang putih dan benang hitam secara semiotik (ilmu
pertandaan) untuk melihat pesan Tuhan secara tersirat dari ayat tersebut.
Telah terjadi perdebatan panjang dari para
ulama’ tafsir tentang makna ‘benang putih’ dan ‘benang hitam’. Terlepas dari
semua perdebatan itu, penulis sejenak mengajak untuk melihat sebab turun ayat
ini. Ada kisah yang sedikit lucu yang menjadi alasan diturunkannya ayat ini (minal
fajri). Ibnu Jarir At-Thobari menjelaskan bahwa suatu ketika di bulan
Ramadhan salah satu sahabat Nabi melakukan pemaknaan mandiri terhadap ayat
al-Quran ini, dia memahami kata khoithul abyad ‘benang putih’ dan khoithul
aswad ‘benang hitam’ secara tekstual dan denngan makna denotatif (makna
asli) yakni benang putih dan benang hitam seperti yang sebenarnya.
Perlu dicatat bahwa awalnya penggalan ayat ini
hanya sampai pada kata khoitul aswad tanpa ada kata minal fajri
selaku penjelas dari kata benang hitam dan benang putih. Saat itu sahabat yag
bersangkutan ketika akan menuju waktu imsak selalu membentangkan benang
hitam dan benang putih sebagai waktu batas untuk makan. Namun dia selalu gagal
karena melihat dua benang itu berwarna sama, tidak terlihat perbedaannya.
Demikianlah hingga kemudian suatu hari dia mengajukan persoalan itu kepada
Rasulullah SAW. Mendengar ceritanya Rasulullah tersenyum (diriwayat lain
tertawa) dan menegaskan, “Tidakkah saya sudah mengatakan minal fajri”?
yang artinya Rasulullah sudah memberikan sambungan dari ayat itu.
Pertanyaan kritisnya, mengapa Tuhan
menggunakan kata benang putih dan benang hitam yang secara semiotik mengacu
kepada pemaknaan konotatif (kiasan). Mengapa tidak langsung dengan kalimat yang
maknanya bisa langsung ditangkap? Misalnya dengan menggunakan kata bermakna
asli (denotatif)? Disinilah kita melihat keagungan al-Quran, kitab sastra
terbesar ini selalu memiliki sisi unik yang membuka ruang untuk didiskusikan.
Menurut penulis, setidaknya, ada dua pesan tersirat yang penting untuk kita renungkan dari penggalan ayat dan sebab turunnya itu.. Pertama, ada pesan dialog yang ditegaskan Tuhan dengan mengakhirkan turunnya penggalan ayat minal fajri untuk menjelaskan kalimat sebelumnya. Kedua, sikap rasulullah Saw yang santai dalam melihat penafsiran yang dilakukan umatnya terhadap firman Tuhan. Dua poin ini menjadi bekal penting dalam kita menjalankan proses beragama.
Menurut penulis, setidaknya, ada dua pesan tersirat yang penting untuk kita renungkan dari penggalan ayat dan sebab turunnya itu.. Pertama, ada pesan dialog yang ditegaskan Tuhan dengan mengakhirkan turunnya penggalan ayat minal fajri untuk menjelaskan kalimat sebelumnya. Kedua, sikap rasulullah Saw yang santai dalam melihat penafsiran yang dilakukan umatnya terhadap firman Tuhan. Dua poin ini menjadi bekal penting dalam kita menjalankan proses beragama.
Dapat kita refleksikan, bahwa Tuhan
menggunakan makna kiasan dalam ayat ini untuk membuka keran dialog antara
Pencipta dengan manusia (fenomena) sehingga dapat kita lihat bagaiman sejatinya
Allah mendorong manusia untuk terus melakukan dialog. Jika Allah yang maha
segalanya saja membuka pintu dialog dengan manusia, mengapa kita sebagai
manusia tidak demikian?
Kedua, sikap Rasulullah saw dalam melihat
penafsiran yang dilakukan umatnya, memberikan contoh cara kita menyikapi sikap
beragama manusia. Bahwa dalam setiap kesalahan atau kekeliruan, seyogyanya
untuk tidak terburu-buru menyalahkan, tetapi coba dicari duduk persoalannya,
karena seringkali persoalannya adalah sederhana. Melihat kisah Ibnu Hatim diatas,
persoalannya adalah dirinya tidak tahu kalau sambungan ayat itu sudah
diturunkan yakni minal fajri. Seandainya dia tahu mungkin dia tidak akan
kebingungan dan melakukan penafsiran secara mandiri dari ayat itu dan mengalami
kekeliruan.
Akhir-akhir ini, banyak kelompok keagamaan
yang seringkali anti terhadap dialog. Selalu terburu-buru menyalahkan
(mengkafirkan atau membid’ahkan), lupa bahwa Allah dan Rasul-Nya selalu membuka
pintu dialog dan tidak pernah tergesa-gesa menyalahkan!
Post a Comment for "Semiotika Benang Putih dan Benang Hitam"