Ruang Semantik dalam Filsafat Bahasa, Alternatif Pendekatan dalam Riset Keagamaan
Salah satu teori dalam kajian Filsafat
Bahasa yang populer adalah konsep permainan bahasa ‘language games’ yang
dicetuskan oleh Ludwig Wittgenstein. Language games merupakan suatu
konsep filsafat bahasa yang memiliki prinsip kolektifitas berbahasa. Artinya proses
berbahasa merupakan suatu proses pemaknaan yang menyeluruh, sehingga tidak
cukup dilakukan hanya dengan mencari makna secara gramatikanya saja.[1]
Dalam pandangan Wittgenstein (periode yang kedua), bahasa akan mendapatkan
maknanya ketika dituturkan oleh penutur, dan tuturan itu sendiri akan
memperoleh maknanya ketika berada dalam suatu komunitas dengan konteks
tertentu. Dalam suatu aktivitas pemaknaan bahasa atau dalam hal ini teks, peran
penutur, pendengar dan situasi menjadi hal yang niscaya.
Dalam aplikasi riset keagamaan, konsep filsafat bahasa language games diposisikan
sebagai suatu model pemaknaan, dimana tugas penting dari seorang pemberi makna
teks (bahasa berorientasi
keagamaan) harus memiliki model permainan ini. Kenapa
demikian? Karena secara kultural, Indonesia memiliki keragaman yang luar biasa,
yang karenanya pemaknaan konsep agama harus
sesuai dengan situasi yang berkembang di dalamnya.
Konsep filsafat bahasa dianggap yang relevan dan cocok untuk
menganalisis fenomena yang tengah berkembang di negeri ini. Namun demikian,
secara konseptual teori Language games-nya Wittgenstein masih cukup
general untuk menjadi pisau analisis yang mendalam, maka dari itu bisa juga melihat beberapa teori pendukung
lainnya yang secara substansi sama namun lebih terperinci. Misalnya saja
komentar Fodor tentang teori-teori filsafat analitikanya Wittgenstein, dia
memberikan masukan yang cukup penting dalam kajian filsafat bahasa. Dia mengatakan, “kepercayaan dan semantika
penafsiran mempengaruhi hasil pembacaan teks.”[2]
Salah satu
bagian penting yang juga menjadi alasan penting menggunakan teori tersebut dalam penelitian keagamaan adalah keinginan untuk membentuk suatu
pendekatan keagamaan yang berobjek formal filsafat bahasa sehingga pemaknaan
istilah-istilah agama itu memiliki landasan kebahasaan yang secara teknis tidak
melulu tentang penutur dan pendengar, tapi juga bagian penting lainnya berupa
konteks. Wittgenstein lebih jauh tentang language games membeberkan
kegelisahan intelektualnya dalam bukunya Philosophical Investigation
tentang paradoks penafsiran (paradoks of interpretation). Baginya banyak
sekali fenomena berbahasa manusia yang memiliki paradoksi seperti satu kata
yang sama, tapi memiliki makna yang berbeda ketika dalam penggunaannya.
Misalnya saja dalam dua pernyataan berikut: “dia memilih untuk berdamai dalam
pertengkaran itu.” dan “dia berdamai dengan polisi ketika ditilang di jalanan.”
Kata berdamai pada dua pernyataan di atas tentulah satu kata namun memiliki
makna yang berbeda ketika digunakan pada situasi yang berbeda.
Dalam konteks
keagamaan, hal yang sama juga kita temukan, misalnya dalam penggunaan istilah
pemimpin, dalam masyarakat Arab, ada banyak istilah untuk kata menyebutkan
pemimpin, seperti: khalifah, amir, imam, wali, rois
dan sebagainya. Kata-kata yang banyak tersebut di Indonesia digunakan oleh
beberapa kelompok keagamaan di negeri ini secara beragam. HTI misalnya, untuk
pemimpin tertinggi menggunakan istilah amir,[3]
kemudian NU menggunakan istilah Rois ‘Am,[4]
dan adapun dalam kelompok-kelompok sufi, pemimpin diistilahkan dengan wali,
murobbi.[5]
Di samping
itu, amir juga digunakan oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) untuk pemimpin
tertinggi mereka. Dalam job dies, tugas masing-masing kelompok itu berbeda-beda
menurut pandangan masing-masing. Dalam organisasi HTI misalnya, amir itu
menduduki posisi tertinggi yang mana hal tersebut menutut dia harus menguasai
ilmu-berilmu agama dan yang terpenting dia harus memiliki pemahaman dan
pengalaman politik yang bagus. Adapun amir dalam MMI, sosok pemimpin lebih
digambarkan sebagai seorang yang faqih secara syariah.
Ada lagi
contoh lain dari language games ini, kata “kiri” misalnya, dalam tugas
seorang sopir angkot, hal tersebut dimaknai sebagai permintaan penumpang untuk
turun dari angkutan kota. Sementara itu dalam hal politik, kiri dimaknai
sebagai golongan yang memiliki ideologi komunis sosialis. Adapaun dalam kajian
pemikiran islam, kata kiri memiliki arti kelompok yang cendrung liberal.
Pada
prinspinya, penggunaan istilah-istilah tersebut merupakan fenomena berbahasa
yang dipengaruhi oleh beberapa hal, misalnya ideologi atau warisan historis
suatu kelompok. Celakanya perbedaan penggunaan istilah tersebut sering kali
diruncingkan sebagai hal yang substantif dan berujung konflik, apakah itu
berbentuk konflik argumentatif maupun konflik real secara tindakan. Model
penggunaan bahasa ini dipengaruhi oleh pemaknaan bahasa yang di dalamnya
terjadi proses negosiasi ideologis. Artinya, penggunaan istilah tersebut dipengaruhi oleh keyakinan kelompok tersebut tentang
istilah-istilah yang terkait secara syar’i yang dibuktikan dengan dalil-dalil agama dari
penegasan al-Quran maupun Hadits.
Dalam ruang analisis riset, Filsafat bahasa memberikan
alternatif model pemaknaan bahasa yang menyeluruh, berupa teks,
penutur, dan konteks. Mengingat pentingnya
tiga komponen tersebut, maka menghadirkan bahasa dalam sebuah permainan bahasa
sangat perlu untuk dilakukan. Hal ini mengingat setiap bidang
kehidupan memiliki tata aturan permainannya sendiri. Tanpa aturan, permainan
tidak akan pernah bisa berlangsung. Penerapan teori ini dalam penelitian
tentang pemaknaan bahasa berorientasi
keagamaan bertujuan untuk memberikan model pemaknaan
yang lebih plural. Sebagaimana komentar Lyotard, bahwa teori Language gamesnya
Wittgenstein merupakan teori yang sangat menekankan aspek paradigmatik sehingga
konsep tersebut dipandang cukup
plural.[6]
Dari uraian diatas, kita
dapat melihat bahwa filsafat bahasa memiliki ruang semantik yang sangat luas.
Hal ini terlihat dari komitmen filsafat bahasa dalam melihat sebuah tuturan,
dari konsep Wittgenstein nampak bahwa bahasa harus dipahami secara kompleks.
Demikian pula beberapa konsep yang relevan tentang bahasa seperti pemahaman
bahasa Charles S. Pierce yang menekankan pemahaman bahasa secara pluralistik.[7]
Melalui konsepnya “pragmatic pluralism” Pierce memberikan komponen yang lebih
rinci dari konsep language games. Perpaduan berbagai
konsep filsafat bahasa yang kemudian menjadi kerangka teoritis penelitian ini
akan melahirkan suatu analisis yang diharapkan mampu memberikan alternatif
pemaknaan bahasa yang lebih pluralistik.
[1] Ludwig
Witgenstein. Philosophical investigation. (London: Great Britanian,
1986) hlm. 30.
[2] Meredith
Wiliams. Witgenstein, Mind and Meaning Towards a Social Conseption of Mind
(London: Routledge, 1999), hlm. 101.
[3] Taqiyuddin
Annabhani. Struktur Negara Khilafah. Terj. (Jakarta: HTI Press, 2010)
hlm. 15
[4] www.nu.or.id akses tanggal 18 April 2015
[5] Wawancara
dengan Muhammad Anshori, seorang anggota Tariqat Hizb Nahdlatul Wathan.
Wawancara dilakukan pada tanggal 9 April 2010
[6] Rizal
Mustansir. Filsafat Analitik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm.113
[7] Sandra B.
Rosenthal. Charles Peirce’s Pragmatic Pluralism. (New York: State University of New York Press,
1994), hlm. 41
Post a Comment for "Ruang Semantik dalam Filsafat Bahasa, Alternatif Pendekatan dalam Riset Keagamaan"