Memahami Bahasa, Menumbuhkan Inklusifitas Beragama
Di
era perkembangan media ini (cyber era), laku atau ucapan seseorang
sering kali tidak mampu mencerminkan hakikat dirinya. Oleh karena itu, tidak
setiap tindakan yang dimunculkan di media baik berupa kesalehan ataupun
pencitraan menjadi ukuran realitas. Dibutuhkan pemahaman yang lebih inklusif
dalam melihat sistem bahasa ataupun tindakan. Apa yang kita lihat dalam sebuah
film berjudul “Negeri Tanpa Telinga” (2016), adalah sebuah fenomena yang
memperlihatkan bahwa identitas agama tidak boleh dipahami secara struktural dan
formalitas semata.
Dalam
film tersebut kita diperlihatkan bahwa bahasa agama (tuturan maupun busana) digunakan
sebagai media kebohongan. Implikasi yang bisa kita ambil setelah kita bisa
mengetahui model kebohongan yang menjadikan bahasa agama sebagai modusnya
adalah kita bisa lebih inklusif dalam melihat setiap kelompok masyarakat maupun
keagamaan. Karena banyak sekali paham keagamaan yang secara formal begitu
spiritual dan agamis, namun di balik semua itu mereka justru menggunakan citra
itu untuk melakukan hal-hal yang bertentangan bahkan dengan agama yang mereka
citrakan. Dengan demikian, kita tidak boleh ekslusif dalam membawa sebuah
kepercayaan, karena kita perlu mengkaji lebih jauh setiap identitas maupun cara
suatu komunitas.
Dalam
hal ini teori Language Games relevan dijadikan sebagai pisau analisis,
menurut Ludwig Wittgenstein suatu pernyataan tidak bisa dimaknai hanya melalui
tuturan yang bersifat struktural, tapi harus dilihat penutur, konteks dan
tuturannya (Mustansyir, 2007: 35). Artinya, pemaknaan bahasa ada pada
penggunaan, bukan pada bahasa secara produk yang baku. Pandangan ini bisa
dilihat dalam pernyataan Wittgenstein yang tekenal, “Dont ask what the mean,
but ask how to use.” Dari perspektif ini kita bisa mengatakan bahwa
pemaknaan bahasa secara language games, atau permainan bahasa akan
memberikan alternatif makna yang beragam. Demikian pula dalam kajian ini
penggunaan bahasa agama harus dipahami lebih luas dan beragam.
Selain
language games, pandangan Charles S. Peirce tentang pluralisme pragmatik
(pragmatic pluralism) juga sejalan dengan fenomena dalam pembahasan ini.
Menurut Peirces (B. Rosenthal, 1994: 41), makna itu tergantung pada kebiasaan (meaning
as habit), dengan arti bahwa makna terlahir bukan hanya dari struktur
bahasa tapi dari intensitas hubungan antar subjektif yang membentuk kebiasaan suatu
komunitas. Dengan demikian makna tuturan harus dilihat dari kebiasaan suatu
komunitas bahasa. Pada gilirannya model ini akan membentuk pluralitas makna
berbahasa yang ditentukan oleh berbagai aspek di luar bahasa.
Pemahaman
yang luas tentang bahasa akan melahirkan diri seseorang yang memiliki pandangan
yang luas pula (inklusif), adapun pandangan yang luas akan memiliki
dampak pada sikap menghargai orang lain yang berseberangan dengannya, baik
dalam hal budaya maupun ideologi. Menurut Albana perpecahan dalam suatu
kelompok dipengaruhi oleh pemaknaan bahasa mereka yang berbeda-beda (Albanna,
2005: 10). Dengan demikian dibutuhkan pemahaman bahasa yang utuh dan
komprehensif untuk membangun pandangan yang lebih inklusif. Pandangan yang
inklusif tersebut akan bisa tercapai jika setiap orang memiliki horison pemahaman
bahasa yang luas yakni horison pemahaman yang berparadigma pragmatik
pluralism. Ketika suatu pemahaman inklusif tumbuh dalam diri seseorang maka
konflik yang berbau ras maupun sosial keagamaan bisa diminimalisir.
Post a Comment for "Memahami Bahasa, Menumbuhkan Inklusifitas Beragama"