Bukan Bahasa Arab, Inilah Bahasa Agama Sesungguhnya!
Sering kali
disalahpahami, bahwa bahasa agama adalah bahasa Arab. Karena stigma tersebut,
banyak orang yang menggunakan bahasa Arab untuk membangun citra keagamaan.
Berbagai pola penggunaan bahasa Arab dalam tradisi tutur sebagian orang
menunjukkan kepada motif teologis yang sangat kental. Banyak orang ketika
melihat seseorang bertutur dengan bahasa Arab, langsung auto-soleh.
Artinya orang yang mampu bertutur Arab merupakan orang yang paham agama dan
harus ditaati.
Citra tersebut
selanjutnya bertransformasi dalam berbagai lini kehidupan, terutama dalam
urusan politik. Belakangan, terutama saat-saat
menuju pesta demokrasi, banyak orang yang menggunakan identitas Arab, baik
bahasa, pakaian, dan lain sebagainya untuk mendongkrak citra dirinya. Anehnya,
banyak orang yang mempercayainya!
Sungguhpun
kesalehan beragama itu, mungkin terbangun dari kemampuan seseorang memahami
bahasa Arab sebagai bahasa utama agama Islam (mengingat Islam turun di Arab),
tetapi faktnya kefasihan berbahasa Arab tidak menjamin sikap dan kepribadian
seseorang. Bahkan dikalangan bangsa Arab sendiri, penutur Arab tidak semuanya
soleh. Abu Jahal, Abu Lahab, diantara contoh penutur Arab yang justru dilaknat
dalam keyakinan agama Islam.
Dari kenyataan
tersebut, sejatinya bahasa Agama sesungguhnya bukanlah bahasa Arab secara
eksistensial, namun bahasa Agama itu merupakan bagian esensial dalam tradisi
tindak dan tutur kita.
Kita bisa
merefleksikan sebuah kejadian yang cukup menarik pada masa Rasulullah SAW masih
hayat. Ketika itu beberapa orang dikalangan masyarakat muslim mengajukan
keberatan atas tugas Bilal meangumandangkan azan. Mereka menegaskan bahwa Bilal
bukan orang yang fasih, dia bukan asli penutur Arab. Dengan alasan itu, mereka
mengajukan pengganti untuk tugas yang dianggap urgen tersebut.
Perdebatan
tersebut sampai jua kepada Rasulullah SAW. Singkat cerita, beliau
mempersilahkan orang lain untuk menggantikan Bilal mengumandangkan adzan. Pada
malam setelah pristiwa itu berlalu, semua masyarakat bermimpi hal yang sama.
Pada mimpi tersebut Malaikat bertanya kepada masyarakat muslim, “apakah hari
ini tidak ada yang melaksanakan sholat?”
Dengan sedikit
membantah, orang-orang tersebut menjawab: “sesungguhnya kami sudah menunaikan sholat.”
Malaikat
kemudian mengatakan: “Ohh, kami kira tidak ada sholat karena tidak
terdengar sedikitpun adzan”.
Mendengar kisah
tersebut, Rasulullah kemudian bersabda: “Kalian mengerti sekarang? Biarlah
Bilal yang terus mengumandangkan adzan, Allah mendengar hatinya bukan
suaranya.”
Bilal adalah
manusia tulus yang tak pernah mengkambinghitamkan kesalehannya. Dia tulus
mengumandangkan adzan tanpa mengejar muka di hadapan manusia. Kisah ini
menegaskan bahwa bahasa agama bukanlah diukur dari kefasihan, tetapi dari
ketulusan dan kekhusy’an dalam mendengungkannya. Demikianlah pula penampilan,
Allah tidak melihat dari wujud badannya tapi pada isi hatinya.
Beragama dengan demikian tidak diukur dari fasih
atau tidaknya seseorang, pandai atau tidaknya beretorika dengan bahasa Arab,
tetapi bagaimana pemahaman akan agamanya terinternalisasi dalam setiap laku dan
tindakan. Dengan kata lain bahasa agama sesungguhnya bukanlah apa yang keluar
dari mulut seseorang berupa kemampuan berbahasa Arab atau bahasa kitab suci
lainnya, tetapi bagaimana tutur dan tindaknya sesuai dengan nilai-nilai yang
dibawa oleh agama itu.
Mantap isi blognya saya suka brow.... Jgn lupa kunjungan balasan
ReplyDeleteSiaap...
Deletesetuju.................... penampilan bukan tolak ukur taat atau tidaknya seseorang dalam beragama
ReplyDeleteTake a beer...
DeleteKeren broo jangan lupa comen balek,,,
ReplyDeleteSiaap
Delete