Anjay Dalam Tinjauan Filsafat Bahasa
Belakangan istilah “anjay” menjadi perbincangan hangat
warganet karena salah seorang artis mengomentari kata tersebut dan menganggap
bahwa pernyataan tersebut tidak baik dan bermaksud melaporkan hal tersebut ke
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komentar artis tersebut dipicu oleh
salah satu anak yang menggunakannya dalam tradisi tutur. Apakah kemudian kata “anjay”
memang sesuatu yang tidak baik? Bagaimana tradisi tutur mempengaruhi laku moral
seseorang? Dan bagaimana seharusnya kita bersikap?
Berdasar pada penelusuran penulis di papan medsos,
istilah anjay hampir telah menjadi alat komunikasi verbal yang lumrah
digunakan. Misalnya, “anjay indah sekali”. “Anjay aku keterima bekerja di
perusahaan itu”, “anjay aku lulus ujian”, kata-kata tersebut banyak kita
jumpai. Secara linguistik, maknnya hanya pada seputar kekaguman, tidak
menyisakan luka apapun dalam jiwa yang mendengar.
Namun demikian, makna suatu kata bisa saja berubah
tergantung konteks tuturnya. Tentang makna bahasa, Wittgenstein mengatakan: Dont
ask what the mean, but how to use, “jangan bertanya apa artinya, tetapi
bagaimana digunakan”. Sejalan dengan itu, Austin memperkenalkan istilah ucapan
performatif, yaitu jenis ucapan yang tidak bisa dinilai benar atau salahnya. Ucapan
tersebut hanya bisa dinilai layak atau tidak layak (happy or unhappy).
Menggunakan dua konsep diatas, bisakah kita menilai kata “anjay”
secara parsial? Tentunya tidak. Anjay dalam bangunan bahasa secara terpisah,
adalah netral, tidak memiliki makna tertentu. Kata tersebut hanya akan memiliki
makna ketika disandarkan pada objek yang lain. Ini tentu saja terlepas dari
apakah anjay adalah pelesetan linguistik dari “anjing”. Artinya, jika anjay adalah sebuah kata yang
mandiri (bukan pelesatan atau singkatan), maka ia netral secara linguistik. Akan
terjadi reproduksi makna, ketika kata tersebut disandarkan dengan kata yang
lain, misalnya: “anjay kamu.” yang mungkin memiliki makna “kamu menyebalkan”
atau bisa saja “kamu keren”. Multi makna ini hadir karena memang kita belum
memiliki konvensi yang final tentang anjay!
Lantas apakah tuturan “anjay” bisa menggambarkan laku
moralitas seseorang? hal ini masih relatif, tapi sangat mungkin iya. Dalam pepetah
Arab disebutkan: ma zhoharo fika ma fika, “apa yang keluar dari mulutmu,
itulah yang ada dalam dirimu.” Artinya,
kebiasaan tutur seseorang sering kali menggambarkan sikap moralnya dalam
bertindak. Karenanya, tidak berlebihan kalau beberapa kalangan khawatir jika
kata “anjay” sering digunakan anak-anak dalam interkasi mereka, itu bisa
melahirkan tindakan yang tidak etis di kehidupan mereka baik pada saat ini
maupun yang akan datang.
Bagaimanapun kata anjay memiliki multi makna yang sulit ditebak,
tapi kita bisa menerapkan pendekatan psikologis dalam menyikapi bahasa-bahasa
baru (tidak hanya anjay). Maksudnya, dengan merasakan secara psikologis sebuah
tuturan, kita bisa mengukur tuturan tersebut layak atau tidak layak, atau
bahkan baik atau tidak baik. Misalnya,
ketika seseorang menatakan, “anjay, cakep banget deh gua.” , “anjay lu, pintar
banget matematika” beberapa kata tersebut bisa kita rasakan secara psikologis,
apakah menyisakan luka atau tidak? nah ini akan kembali pada setiap individu.
Bagaimanapun, saat ini kita memang dihadapkan pada era
reproduksi bahasa tanpa batas. kemajuan teknologi dan informasi telah menyeret
kita pada lembah-lembah perubahan yang tak terbantahkan, termasuk perubahan
bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, perlu ada kontrol bahasa dari orang-orang
tua terhadap anak-anak mereka. Juga perlu untuk tidak tergesa-gesa menggunakan
bahasa yang belum jelas duduk maknanya. Kehati-hatian
dalam memilih diksi bahasa adalah salah satu cara untuk mengontrol berbagai
polemik yang mungkin dimunculkan oleh dinamika bahasa.
Post a Comment for "Anjay Dalam Tinjauan Filsafat Bahasa"